Sunday, February 13, 2011

Psikologi Khalayak

1

I. Pengantar
Khalayak (audience) merupakan factor penentu keberhasilan komunikasi. Ukuran keberhasilan upaya komunikator yang ia lakukan adalah apabila pesan-pesan yang disampaikan melalui saluran/medium yang diterima sampai pada khalayak sasaran, dipahami, dan mendapatkan tanggapan positif, dalam arti sesuai dengan harapan komunikator.

Menurut Schramm, seorang perancang komunikasi yang baik tidak akan memulai upayanya dari “apa yang harus dikatakan” , “saluran apa yang akan dipergunakan”, atau “bagaimana cara mengatakannya”, melainkan terlebih dahulu mempertanyakan “siapa yang akan menjadi sasaran penyempaian pesan”.
Dalam proses komuniksi massa, implikasi dari pernyataan Schramm tersebut di atas adalah, bahwa sebelum komunikator mempengaruhi khalayak melalui pesan-pesan yang disampaikannya, khalayak terlebih dahulu mempengaruhi komunikator. Itulah sebabnya komunikator akan berusaha mengumpulkan data dan informasi mengenai karakteristik dari individu atau kelompok, atau warga khalayak yang akan dijadikan sasaran. Atas dasar hal inilah baru komunikator akan dapat menentukan “apa” yang akan disampaikan dan “bagaimana” cara menyampaikannya.

II. Pengertian khalayak
Konsep “khalayak” (audience) dalam konteks komunikasi telah dikenal sejak jaman Yunani Kuno. Pada masa itu pengertian khalayak menunjuk pada sekumpulan orang yang menonton suatu pertunjukan (misalnya drama, atau pertandingan).
Dengan demikian pengertian khalayak di sini adalah sekumpulan orang yang terorganisir pada waktu dan tempat tertentu, di mana masing-masing secara sukarela datang ke suatu tempat karena memiliki perhatian yang sama serta tujuan yang lebih kurang sama, yaitu ingin memperoleh hiburan.

Sejalan perkembangan jaman, pengertian khalayak tersebut di atas sudah tidak lagi memadai untuk menggambarkan kondisi nyata dari khalayak. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat, khususnya perubahan yang terjadi dalam hal teknologi komunikasitelah mengubah konsepsi khalayak dari rumusan awalnya.
Kehadiran teknologi mesin cetak telah melahirkan khalayak pembaca yang tidak lagi terbatas pada dimensi ruang dan waktu. Munculnya komersialisasi media massa telah memperluas skala operasi media massa dari hanya sekedar institusi sosial menjadi institusi ekonomi.

Jadi pada masa sekarang ini konsepsi khalayak menunjuk pada sekumpulan orang yang terbentuk sebagai akibat atau hasil dari kegiatan komunikasi yang dilakukan yang jumlahnya besar (bahkan mungkin tidak terbata), tersebar secara luas, banyak di antaranya yang tidak saling mengenal satu dengan yang lainnya, dan heterogen dalam hal ciri-ciri sosio ekonomi dan demografinya.

III. Karakteristik Khalayak
1. Khalayak sebagai penggarap informasi
Pada dasarnya proses pengolahan informasi yang terjadi pihak penerima (khalayak) bersifat “selektif”. Pihak penerima pesan pada saat berhadapan dengan “bentuk informasi” tertentu akan melakukan “decoding” (pemecahan atau penginterpretasian kode). Akhirnya, tidak semua isi informasi akan diserap oleh si penerima secara utuh. Artinya, satu atau beberapa bagian dari isi pesan itu tidak akan dicerna atau diolah karena tidak masuk dalam kerangka pengetahuan dan pengalaman hidupnya, atau karena dipandang tidak sesuai dengan keperluan, minat, dan keinginannya.
Beberapa studi menunjukkan bahwa, tingkat pendidikan seseorang secara signifikan turut mempengaruhi derajat pengolahan informasi yang smpai kepada dirinya. Orang yang latar belakang pendidikannya relative ‘tinggi’, di samping tinggi rasa ingin tahunya tentang sesuatu, juga cenderung lebih kritis, selektif, dan banyak pertimbangan dibandingkan dengan orang yang latar belakang pendidikannya lebih rendah. Itulah sebabnya mempengaruhi sikap dan pendapat orang yang berpendidikan tinggi jauh lebih sulit dibandingkan dengan orang yang latar belakang pendidikannya lebih rendah.

2. Khalayak sebagai “problem solver”
Khalayak jelas tidak terlepas dari permasalahan kehidupan yang mereka hadapi. Mereka juga akan selalu berupaya mencari cara-cara pemecahannya.
Dari pihak penerima pesan (khalayak), salah satu fungsi yang diharapkan dari penyebaran informasi melalui media massa adalah , bahwa informasi tersebut mampu membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian informasi atau pesan yang dipandang tidak membantu mereka dalam memecahkan permasalahan atau malah mungkin menambah kesulitan/permaslahan baru, jelas tidak akan mendapat perahtian mereka.



3. Khalayak sebagi mediator
Pada dasarnya proses penyebaran informasi tidak berhenti pada khalayak
sasaran secara langsung sebagai barisan pertama. Arus penyebaran informasi
bisa melalui berbagai tahap dan barisan.
Proses penyebaran informasi yang demikian lazim disebut sebagai “multi-step flow of communication”. Seorang warga khalayak setelah menerima informasi dari suatu medium kemungkinan besar akan kembali meneruskan informasi tersebut kepada orang-orang lainnya.
Dan orang-orang yang menerima informasi inipun selanjutnya akan menyampaiakan kembali ke orang-orang lainnya.
Dalam proses pengolahan informasi terjadi proses seleksi yang mencakup perhatian (selective attention), persepsi (selective perception), dan daya ingat (selective recall).

4. Khalayak yang mencari pembela
Pada suatu waktu seseorang dapat mengalami krisis keyakinan dan diliputi rasa ketidakpastian. Hal ini bisa terjadi karena adanya sesuatu yang baru yang mempengaruhi keyakinannya, atau karena factor-faktor lainnya.
Dalam keadaan demikian orang tersebut akan berupaya mencari data dan informasi yang dipandang bisa mendukung atau membela keyakinannya.

Motivasi mencari informasi yang diharapkan akan dapat menjadi “pembela” keyakinan merupakan salah satu factor yang mendorong terjadinya seleksi media. Dengan perkataan lain, seseorang memilih satu medium tertentu dengan alasan bahwa informasi yang diperoleh dari medium tersebut mampu mendukung atau memperkuat keyakinannya.

5. Khalayak sebagai anggota kelompok
Sebagai mahluk sosial, seorang individu juga terikat oleh nilai-nilai kelompok yang diikutinya, baik secara formal maupun informal.
Yang dimaksud dengan kelompok formal di sini antara lain ABRI, KORPRI, Serikat Buruh, dll, sedangkan yang termasuk kelompok informal misalnya kelompok-kelompok hobi seperti pencinta alam, kelompok olah raga, dll.

6. Khalayak sebagai Kelompok
Secara sosiologis masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok orang yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri bisa menyangkut cirri demografis seperti jenis kelamin, usia, pekerjaan, sukubangsa, dan bisa juga brdasarkan cirri-ciri nondemografis seperti nilai, hobi, orientasi, dan lain-lain.

Cara berbicara dengan kalangan orang tua tentunya berbeda dengan kalangan anak muda. Kaitannya dengan proses penyebaran informasi melalui media massa adalah, bahwa diperlukan adanya “segmentasi” khalayak. Melalui segmentasi ini khalayak dipandang sebagai suatu kelompok yang secara relative mempunyai ciri-ciri yang tidak terlalu beragam. Dengan demikian, penyajian pesan/informasi dengan sendirinya akan disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik dari kelompok khalayak sasaran.


7. Selera Khalayak
Dalam kaitannya dengan media massa seperti surat kabar dan majalah, selera khalayak ini bisa menyangkut aspek-aspek jenis isi informasi, (misalnya informasi politik, ekonomi, sosial, budaya), teknik penyajian (bentuk huruf, lay out), atau bentuk/formatnya (surat kabar, majalah, tabloid, sheet).
Agar penyampaian informasi mencapai sasarannya, terlebih dahulu perlu diketahui apa dan bagaimana selera dari calon sasaran khalayak yang akan dituju. Selera khalayak ini bisa juga berubah-ubah.

IV. Pesan Nonverbal
A. Fungsi Pesan Nonverbal
Menurut Mark L. Knapp ada 5 fungsi pesan nonverbal sebagai berikut :
1. Repetisi : mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal; misalnya setelah saya menjealskan penolakan saya, saya menggelengkan kepala berkali-kali.
2. Substitusi : menggantikan lambang-lambang verbal; misalnya tanpa sepatah katapun Anda berkata, Anda dapat menunjukkan persetujuan dengan mengangguk-angguk.
3. Kontradiksi : menolak pesan verbal atau memberikan makna yang lain
terhadap pesan verbal. Misalnya, Anda memuji prestasi kawan Anda dengan mencibirkan bibir Anda dan berkata “Hebat, kau memang hebat”.
4. Komplemen : melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal.
Misalnya, air muka Anda menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata.
5. Aksentuasi : menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya;
Misalnya Anda mengungkapkan betap jengkelnya Anda denga memukul mimbar.

B. Arti Penting Pesan Nonverbal secara psikologis
1. Faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi.
Ketika kita mengobrol atau berkomunikasi tatap muka, kita banyak menyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesan-pesan nonverbal. Pada gilirannya orang lainpun lebih banyak membaca pikiran kita lewat petunjuk-petunjuk nonverbal.
2. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan nonverbal ketimbang pesan verbal. Anda boleh menulis surat kepada pacar Anda dan mengungkapkan gelora kerinduan Anda. Anda tertegun, Anda tidak menemukan kata- kata yang tepat untuk menyatakan sesuatu yang begitu mudah diungkapkan melalui pesan nonverbal.
3. Pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancuan. Pesan nonverbal jarang dapat diatur oleh komunikator secara sadar.
4. Pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas. Fungsi metakomuniaktif artinya memberikan informasi tambahan  yang memperjelas maksud dan makna pesan.
5. Pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. 
Dari segi waktu, pesan verbal sangat tidak efisien. Dalam paparan verbal terdapat redundansi (lebih banyak lambang dari yang diperlukan), repetisi, ambiguity (kata-kata yang bermakna ganda),  dan abstraksi.

6. Pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat.
Ada situasi komunikasi yang menuntut kita untuk mengungkapkan gagasan atau emosi secara tidak langsung. Sugesti di sini dimaksudkan menyarankan sesuatu kepada orang lain secara implisit atau tersirat. Sugesti paling efektif disampaikan melalui pesan-pesan nonverbal.

C. Klasifikasi Pesan Nonverbal
Larry A. Samovar dan Richard E. Porter mengklasifikasikan pesan-pesan nonverbal ke dalam 2 kategori utama, yaitu “
1. Perilaku yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, bau-bauan, dan parabahasa.
2. Ruang, waktu, dan diam.
John R. Wenburg dan William W. Wilmot mengemukakan klasifikasi lain dari pesan
nonverbal, sebagai berikut :
1. isyarat-isyarat nonverbal perilaku (behavioral)
2. isyarat-isyarat nonverbal bersifat publik sepeerti ukuran ruangan dan faktor-faktor situasi lainnya.

Bahasa tubuh
Ilmu atau pengetahuan yang berhubungan dengan bahasa tubuh adalah kinesika (kinesics). Istilah ini dikemukakan pertama kali oleh seorang ahli bahasa nonverbal, Ray L. Birdwhistell.
Setiap anggota tubuh manusia seperti wajah, tangan, kepala, kaki, dan bahkan seluruh anggota tubuh kita dapat digunakan sebagai isyarat simbolik.

Isyarat Tangan
Kita sering menyertai ucapan kita dengan isyarat tangan.
Misalnya, orang yang sedang menelepon, meskipun lawan bicara tidak melihat, ia menggerak-gerakkan tangannya. Isyarat tangan atau ”berbicara dengan tangan” disebut emblem, mempunyai makna dalam suatu budaya. Desmond Morris et. al, mengumpulkan 20 isyarat tangan yang sama tapi mempunyai makna yang berbeda dalam budaya yang berbeda. Sementara seorang Arab menginventarisir paling tidak 247 isyarat tangan yang berlainan yang digunakan orng Arab untuk melengkapi suatu pembicaraan.

Negara-negara di mana orang-orangnya dikenal sebagai “berbicara dengan tangan” adalah : Perancis, Italia, Spanyol, Mexico, Arab, dan India. Sementara bangsa-bangsa yang termasuk hemat atau jarang menggunakan isyarat tangan ketika mereka berbicra adalah beberapa suku Indian di Bolivia. Karena iklimnya dingin, mereka meletakkan tangan mereka di bawah syal atau selimut, dan oleh karena itu mereka lebih mengandalkan ekspresi wajah dan mata.

Gerakan Kepala
Di beberapa negara, anggukan kepala malah berarti “Tidak”, seperti di Bulgaria, sedangkan isyarat untuk “Ya” adalah dengan menggelengkan kepala.
Di Yunani dan Timur Tengah, kata “Tidak” diisyaratkan dengan cara menyentakkan kepalanya ke belakang dan menengadahkan wajah.
Sebagian orang di Arab dan Italia mengatakan “Tidak” dengan mengangkat dagu, sebaliknya cara ini di Maori Selandia baru hal ini berarti “Ya”.
Di India Selatan, gelengan kepala berarti “Ya”, sedangkan di Indonesia hal ini berarti “Tidak”.
Di Uni Emirat Arab, menggelengkan kepala berarti “ya”.
Di kebanyakan negara, orang yang duduk sambil menegakkan kepala di hadapan orang yang berbicara berarti memperhatikan si pembicara. Di Australia, pembicara akan menyangka Anda kecapekan atau mengantuk bila anda memejamkan mata. Akan tetapi, orang Jepang yang tampak tertidur (mata terpejam dan kepala menunduk), ketika orang presentasi, sebenarnya sedang menyimak presentasi tersebut dengan sungguh-sungguh.

Postur tubuh dan posisi kaki
Penelitian yang dilakukan oleh William Sheldon memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara bentuk tubuh dan temperamen.
Menurut Sheldon, bentuk tubuh yang gemuk (endomorph) berhubungan dengan sifat malas dan tenang.
Bentuk tubuh yang atletis (mesomorph) berhubungan dengan sifat asertif dan percaya diri, sedangkan tubuh yang kurus (ectomorph) berhubungan dengan sifat introvert yang lebih menyenangi aktivitas mental daripada aktivitas fisik.

Prof. Hafied Cangara mengelompokkan kode nonverbal sebagai beikut :
1) Kinesics
Ialah kode nonvebal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan badan yang bisa dibedakanatas 5 jenis, yaitu :
1. Emblems
Ialah isyarat yang punya arti langung pada simbol yang dibat oleh gerakan badan. Misalnya mengangkat jari V yang artinya victory atau menang; mengangkat jempol yang berarti baik (Indonesia), tetapi berarti jelek (India). Kerdipan mata berarti ”saya tidak sungguh-sungguh”
2. Illustrators
Ialah isyarat yang dibuat dengan gerakan-gerakan badan untuk menjelaskan sesuatu, misalnya mengenai besarnya barang atau tinggi rendahnya suatu objek yang dibicarakan. Pandangan ke bawah berarti kesedihan atau depresi
3. Affect displays
Ialah isyarat yang terjadi karena adanya dorongan emosional sehingga brpengaruh paada ekspresi muka, misalnya tertawa, menangis, senyum, mencibir, sinis, dn sebagainya. Hampir semua bangsa di dunia menilai perilaku tertawa dan tersenyum sebagai lambang kebahagiaan, sedangkan menangis adalah lambang kesedihan.
4. Regulators
Ialah gerakan-gerakan tubuh yang terjadi pada daerah kepala, misalnya mengangguk tanda setuju atau menggeleng tanda menolak.
5. Adaptory
Ialah gerakan-gerakan badan yang dilakukan sebagai tanda kejengkelan, misalnya menggerutu, mengepalkan tinju ke atas meja, dan sebagainya.

Selain gerakan-gerakan badan yang dilakukan oleh kepala dan tangan, juga gerakan kaki memberi isyarat seprti halnya posisi duduk. Bagi masyarakat Amerika dan Eropa, posisi duduk dengan posisi kaki menyilang di atas kaki lainnya atau berdiri sambil bertolak pinggang adalah hal biasa, tetapi bagi orang Indonesia hal ini dinilai sebagai perbuatan yang kurang sopan. Begitu juga halnya menerima atau membri sesuatu dengan tangan kiri, pada masyarakat Barat adalah sesuatu hal yang biasa, seangkan di Indonesia adalah sesuatu yang kurang sopan.

2) Gerakan Mata
Mata adalah alat komunikasi yang paling berarti dlam memberi isyarat tanpa kata. Ada yang menilai bahwa gerakan mata adalah cerminan isi hati seseorang. Hal ini misalnya terbukti adanya ungkapan ””lirikan matanya memiliki arti” atau ”pandangan matanya mengundang”.

Mark Knapp mengemukakan 4 fungsi utama gerakan mata sebagai berikut :
1. Untuk memperoleh umpan balik dari lawan bicara. Misalnya dengan mengucapkan bagaimana pendapat Anda tentang hal tersebut?
2. Untuk menyatakan terbukanya saluran komunikasi dengan tibanya waktu untuk bicara
3. Sebagai sinyal untuk menyalurkan hubungan, di mana kontak mata akan meningkatkan frekuensi bagi orang yang saling memerlukan. Sebebaliknya orang yang merasa malu akan berusaha untuk menghinari terjadinya kontak mata. Misalnya orang yang merasa bersalah atau berhutang akan menghindar dari orang yang menagihnya.
4. Sebagai pengganti jarak fisik
Bagi orang yang berkunjung ke suatu pesat, tetapi tidak sempat berdekatan karena banyaknya pengunjung, maka melalui kontak mata mereka dapat emngatasi jarak pemisah.

3) Sentuhan (touching)
Ialah isyarat yang dilambangkan dengan sentuhan badan.
Menurut bentuknya, sentuhan badan dibagi atas 3 macam :
1. Kinesthetic
Ialah isyarat yang ditunjukkan dengan bergandengan tangan satu sama lain, sebagai simbol keakraban atau kemesraan.
2. Sosiofugal
Ialah isyarat yang ditunjukkan dengan jabat tangan atau saling merangkul. Umumnya orang Amerika atau Asia Timur dalam menunjukkan persahabatan ditandai dengan jabat tangan, sedangkan orng Arab dan Asia Selatan menunjukkan persahabatan lewat sentuhan pundak atau berpelukan.
3. Thermal
Ialah isyarat yang ditunjukkan dengan sentuhan badan yang terlalu emosional sebagai tanda persahabatan yang begitu intim, misalnya menepuk punggung karena sudah lama tidak bertemu.
4. Paralanguage
Ialah isyarat yangditimbulkan dari tekanan atau irama suara sebagai penerima pesan dapat memahami sesuatu di balik apa yang diucapkan. Misalnya kata ”datang-datanglah ke rumah” bisa diartikan `
betul-bertul mengundang kehadiran kita atau sekedar basa-basi.

Suatu kesalahpahaman seringkali terjadi kalau komunikasi berlangsung dari etnik yang berbeda. Suara yang bertekanan besar bisa diartikan oleh etnik tertentu sebagai perlakuan kasar, meski sesungguhna bukan begitu maksudnya, sebab hal tersebut sudh menjadi kebiasaan etnik tersebut.

4) Diam
Berbeda dengan tekanan suara, maka sikap diam juga sebagai kode nonverbal yang mempunyai arti.Max Picard menyatakan bahwa diam tidak semata-mata mengandung arti negatif, tetapi bisa juga mengandung arti positif.
Dalam kehidupan sehari-hari, sikap berdiam diri sangast sulit ditebak, apakah orang itu malu, penakut, cemas, atau marah. Banyak orang mengambil sikap diam karena tidak mau menyatakan sesuatu yang menyakitkan orang lain, misalnya mengatkan ”tidak”. Tetapi dengan bersikap diam, juga dapat menyebabkan orang bersikap ragu. Karena itu, sikap diam tidak selamanya berarti menolak sesuatu, tetapi tidak juga berarti menrima. Mungkin dalam hal ini, sikap diam berarti ia ingin menyimpan rahasia tertentu, dan hanya ia-lah yang tahu.

Busana
Nilai-nilai agama, kebiasaan, lingkungan fisik, dan iklim, serta tujuan pencitraan mempengaruhi orang cara kita berdandan. Bangsa-bangsa yang mengalami empat musim yang berbeda akan menyesuaikan cara mereka berdandan dengan faktor tersebut. Misalnya pada musim dingin, orang akan berpakaian yang tebal dan menutup seluruh tubuh. Di Amerika, buasna warna teduh dikenakan untuk kegiatan bisnis dan sosial. Di India dan Myanmar, orang menggunakan busana tradisional untuk kegiatan bisnis, sebagaimana juga dilakukan oleh orang Arab.
Sebagian orang berpandangan bahwa pilihan seseorang atas pakaian merupakan cerminan dari kepribadiannya, misalnya apakah ia orang konservatif, religius, modern, atau berjiwa muda. Bagi orang-orang tertentu, pakaian, rumah, kenderaan, perhiasan, dan sebagainya dipakai untuk memproyeksikan citra mereka di hadapan masyarakat.
Mereka mempunyai persepsi bahwa dengan memakai pakaian tertentu mereka akan dipandang tertentu pula oleh masyarakat.

Orientasi Ruang dan Jarak Pribadi
Setiap budaya mempunyai cara khas dalam mengkonseptualisasikan ruang, baik di dalam rumah, di luar rumah, maupun ketika berhubungan dengan orang lain.
Edward T. Hall (antropolog), mengemukakan istilah proxemics sebagai bidang studi yang mengkaji persepsi manusia atas ruang (pribadi dan sosial), yaitu cara manusia menggunakan ruang dalam berkomunikasi. Beberapa ahli lainnya memperluas konsep proksemika ini dengan memperhitungkan seluruh lingkungan fisik yang mungkin berpengaruh terhadap proses komunikasi seperti iklim, pencahayaan, dan kepadatan penduduk.
Pencahayaan dapat mendorong atau menghalangi seseorang untuk berkomunikasi. Cahaya yang terang sangat diharapkan dalam ruang kuliah dan ruang baca, karena dibutuhkan untuk membaca dan menulis. Sementara di sebuah kafe atau tempat kencan lainnya, dibutuhkan cahaya redup atau lebih lunak. Untuk keperluan pembicaraan yang bersifat pribadi, baik di ruang terbuka maupun ruang tertutup adalah tidak mungkin menggunakan cahaya yang terang benderang.

Parabahasa
Parabahasa atau vokalika (vocalics) mengacu pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami, misalnya kecepatan berbicara, nada (tinggi –rendah), intensitas (volume), suara, intonasi, dialek, suara terputus-putus, suara gemetar, suitan, tawa, erangan, desahan, gumaman, gerutuan, dan sebagainya. Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran kita. Suara yang terengah-engah menandakan kelemahan, sedangkan ucapan yang terlalu cepat menandakan ketegangan, kemarahan, dan ketakutan. Kadangkala kita bosan mendengar pembicaraan orang bukan karena isi atau materi yang disampaikannya, melainkan karena disampaikan dengan cara monoton dan lamban.
Satu contoh yang menarik dari parabahasa adalah ketika Presiden Habibie (waktu itu, tahun 1999). Sebelum Habibie menyampaikan Laporan Pertanggungjawabannya di hadapan Sidang MPR, para anggota majelis sudah bersuara ”Huuuuu...” Tidak sulit untuk memaknai teriakan seperti itu, yaitu sikap penolakan dan pelecehan, meskipun para anggota majelis itu belum mengucapkan sepatah katapun juga.

Meskipun aspek-aspek parabahasa ini berkaitan dengan komunikasi verbal, aspek-aspek tersebut harus dianggap sebagai bagian dari komunikasi nonverbal, yang menunjukkan kepada kita bagaimana perasaan pembicara
Mengenai pesannya, apakah ia percaya diri, gugup, atau menunjukkan aspek-aspek emosional lainnya.

Satu contoh parabahasa yang lain adalah berbicara dengan suara yang keras.Di Indonesia, suku bangsa yang dikenal dengan tekanan suaranya yang keras, selain Batak, adalah sukubangsa di Riau Kepualauan. Mereka biaa bebicara keras karena suara mereka terkondisikan oleh alam, yaitu kerasnya tiupan angin dan ombak.
Bangsa yang cenderung bersuara keras ketika berkomunikasi adalah Bangsa Arab, terutama ketika mereka brbicara kepada orang yang mereka sukai. Bagi orang Arab, suara keras menandakan kekuatan dan ketulusan, sedangkan suara lemah mengisyaratkan kelemahan atau tipu daya. Itulah sebabnya, bila kita tidak mengenal karakter budaya ini, boleh jadi kita menganggap suara keras mereka sebagai tanda agresivitas, kekasaran atau kemarahan, bukan sebagai cerminan ketulusan atau keranahan.
Mungkin di bangsa-bangsa lain aspek parabahasa bukan pada volume suara , akan tetapi mungkin pada kecepataannya atau ”melodi”nya. Orang Amerika berbicara lebih keras daripada orang Perancis; orang Malaysia berbicara lebih cepat daripada orang Indonesia; orang Arab berbicara lebih cepat daripada orang Inggris; sementara orang Thailand berbicara lebih bermelodi daripada orang Jepang.
 
 
Sumber :UNIVERSITAS MERCU BUANAK, FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI , Oleh : Drs. Riswandi, M.Si.

Efek Kognitif Media Massa

2

I. Pengertian Informasi dan Citra
Informasi adalah segala sesuatu “yang mengurangi ketidakpastian atau mengurangi jumlah kemungkinan alternatif dalam situasi”.
Misalnya, seorang insinyur genetic datang dan memberitahukan bahwa mahluk yang ada di depan Anda adalah “chimera”, hasil perkawinan gen manusia dengan gen monyet. Ketidakpastian Anda berkurang, dan alternative tindakan yang akan Anda lakukan juga berkurang. Apabila Anda bertanya lebih jauh, mahluk itu ternyata jinak dan cerdas, maka makin sedikit alternatif tindakan Anda. Sekarang realitas di depan Anda tidak lagi realitas tak berstruktur. Informasi yang Anda peroleh telah menstruktur dan mengorganissi realitas.
Realitas itu sekarang tampak sebagai gambaran yang mempunyai makna. Gambaran seperti itu disebut citra.
Citra menunjukkan keseluruhan informasi tentang dunia ini yang telah diolah, diorganisasikan, dan disimpan individu.

Citra adalah peta kita tentang dunia. Tanpa citra kita akan selalu berada dalam suasana yang tidak pasti. Citra adalah gambaran tentang realitas dan tidak harus selalu sesuai dengan realitas. Citra adalah dunia menurut persepsi kita.

Dalam kaitannya dengan komunikasi massa, komunikasi massa tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu. Komunikasi massa, khususnya media massa, cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan, dan citra inilah yang mempengaruhi cara kita berperilaku.
Contoh :
- Media massa seperti televisi yang seringkali menayangkan cerita tentang Jakarta lewat sinetron dengan menggambarkan hotel, mall, restoran mahal, dan kehidupan glamour lainnya, akan membentuk citra di kepala orang-orang pedesaan, bahwa di Jakarta itu ”hidup enak” dan nikmat.
- Media cetak yang seringkali memberitakan peristiwa kriminalitas secara vulgar yang terjadi di Jakarta, membuat orang-orang menganggap Jakarta adalah kota yang tidak aman. Akibatnya, orang-orang tidak berani pulang malam, atau tidak berani pergi sendirian di malam hari.

II. Pembentukan dan Perubahan Citra
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, citra terbentuk berdasarkan informasi yang kita terima. Media massa bekerja untuk menyampaikan informasi.
Buat khalayak, informasi itu dapat membentuk, mempertahankan atau meredefinisikan citra.

Menurut McLuhan, media massa adalah perpanjangan alat indera kita.
Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang , atau tempat yang tidak kita alami secara langsung. Media massa datang untuk menyampaikan informasi tentang lingkungan sosial politik; televisi menjadi jendela kecil untuk menyaksikan berbagai peristiwa yang jauh dari jangkauan alat indera kita.
Surat kabar menajdi teropong kecil untuk melihat gejala-gejala yang terjadi di seluruh dunia, buku kadang-kadang bisa menjadi kapsul yang membawa kita ke masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang., film menyajikan pengalaman imajiner yang melintas ruang dan waktu.

Realitas yang disampaikan media adalah realitas yang sudah diseleksi, yang disebut realitas tangan kedua (second hand reality). Televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengenyampingkan tokoh-tokoh lain yang lain. Begitu juga surat kabar, melalui proses yang disebut “gatekeeping” menapis berbagai berita dan memuat berita tentang “darah dan dada (blood and breast) daripada tentang teladan dan kesuksesan.
Karena khalayak tidak dapat dan tidak sempat mengecek apa yang disampaikan oleh media massa, maka khalayak cenderung memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan apa yang dilaporkan oleh media massa.

Jadi, pada akhirnya kita membentuk citra kita tentang lingkungan sosial kita berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa. Karena televisi sering menyajikan adegan kekerasan, penonton televisi cenderung memandang dunia lebih keras, lebih tidak aman, dan lebih mengerikan.

Menurut para ahli, penelitian berkenaan dengan persepsi penonton televisi tentang realitas sosial menemukan bahwa penonton televisi kelas berat cenderung memandang lebih banyak orang yang berbuat jahat, merasa bahwa berjalan sendirian berbahaya, dan lebih berpikir bahwa orang hanya memikirkan dirinya sendiri.
Jadi jelas bahwa citranya tentang dunia dipengaruhi oleh apa yang dilihatnya dalam televisi.
Hal yang sama berlaku pada surat kabar. Bila kita berlangganan surat kabar Lampu Merah, besar kemungkinan kita menduga dunia ini dipenuhi oleh pembunuhan, penjambretan, perkosaan, penganiayaan, dan pencurian.
Jadi jelaslah bahwa, baik surat kabar maupun televisi dapat menonjolkan situasi atau orang tertentu di atas situasi atau tokoh lain.

Berkaitan erat dengan penonjolan yang dilakukan oelh media massa, Lazarsfeld dan Merton menjelaskan fungsi media dalam memberikan status. Karena namanya, gambarnya, atau kegiatannya dimuat oleh media, maka orang, organisasi, atau lembaga mendadak mendapat reputasi yang tinggi. Dalam hal ini dikenal istilah ”names makes news”. Sebaliknya dalam kaitannya dengan citra yang ada sekarang adalah ’news makes name”. Artinya orang yang tak terkenal mendadak melejit namanya, karena ia diungkapkan secara besar-besaaran dalam media massa. Bahkan orang yang terkenal, perlahan-lahan akan dilupakan oleh orang, karena tidak pernah lagi diliput oleh media.

Karena media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, sudah tentu media massa mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang timpang, bias, dan tidak cermat. Oleh karena itu, terjadilah apa yang disebut stereotype.
Stereotype adalah gambaran umum tentang individu, kelompok, profesi, atau masyarakat yang tidak berubah-ubah, bersifat klise, dasn seringkali timpang dan tidak benar.
Misalnya di Amerika Serikat, media massa memperlihatkan kelompok minoritas seringkali ditampilkan dalam stereotype yang merendahkan, orang Negro bodoh, malas, dan curang; orang Indian liar dan ganas; orang Asia umumnya pekerja kasar seperti pelayan, tukang cuci, dan tukang masak.
Contoh lain, dalam film-film Indonesia wanita sering ditampilkan sebagai mahluk cengeng, senang kemewahan, dan seringkali cerewet. Bila penampilan seperti iitu terus menerus, akan menciptakan stereotype pada diri khalayak komunikasi massa tentang orang atau lembaga.

Di sinilah bahaya pesan-pesan media massa. Itulah sebabnya ada orang-orang yang memandang komunikasi massa sebagai ancaman terhadap nilai dan rasionalitas manusia.
Menurut mereka, media massa menimbulkan depersonalisasi dan dehumanisasi manusia. Media massa bukan saja menyajikan realitas kedua, tetapi karena distorsi, media massa juga menipu manusia dan memberikan citra dunia yang keliru. Dalam hal ini C. Wright Mills menyebutnya sebagai ’pseudoworld” yang tidak serasi dengan perkembangan manusia.

Bagi kritikus sosial, media massa sering menampilkan lingkungan sosial yang tidak sebenarnya. Dengan cara itu, media massa membentuk citra khalayak nya ke arah yang dikehendaki oleh media tersebut.

Selain media berperan dalam membentuk citra, media massa juga berperan dalam mempertahankan citra yang sudah dimiliki oleh khalayaknya.
Teori ”reflective –projective theory” beranggapan bahwa media massa adalah cermin masyarakat yang mencerminkan suatu citra yang ambigu, artinya menimbulkan tafsir yang macam-macam., sehingga pada media massa setiap orang memproyeksikan atau melihat citranya. Media massa mencerminkan citra khalayak, dan khalayak memproyeksikan citranya pada penyajian media massa.
Misalnya, berita-berita luar negeri bagi orang Amerika, yang melaporkan bencna, kelaparan, dan kekacauan di negara dunia Ketiga akan memperkokoh citra mereka tentang negara terkebelakang yang belum tersentuh ’peradaban modern”. Pada gilirannya, film-film Amerika memperkokoh citra kita tentang Amerika sebagai penganut freesex, negara sebagai polisi dunia, dan pusat teknologi dunia.

Menurut Klapper, media bukan saja mempertahankan citra khalayak, media lebih cenderung menyokong status quo ketimbang perubahan. Roberts menganggap kecenderungan timbul karena 3 hal sebagai berikut :

1. Reporter dan editor memandang dan menafsirkan dunia sesuai dengan citranya tentang realitas seperti kepercayaan, nilai, dan norma;
Karena citra itu disesuaikan dengan norma yang ada, maka ia cenderung untuk melihat atau mengabaikan alternatif lain untuk mempersepsi dunia.
2. Wartawan selalu memberikan respon pada tekanan halus yang merupakan kebijaksanaan pemimpin media;
3. Media massa sendiri cenderung menghindari hal-hal yang bersifat kontroversial, karena kuatir hal-hal tersebut akan menurunkan jumlah khalayaknya.
Audience share dikuatirkan direbut oleh media saingan. Dengan begitu, yang paling aman ialah menampilkan dunia sedapat mungkin seperti yang diharapkan oleh kebanyakan khalayak.

Pengaruh media massa terasa lebih kuat lagi, karena pada masyarakat
modern orang memproleh informasi tentang dunia dari media massa. Pada saat yang sama, mereka sulit mengecek kebenaran yang disajikan media.
Contoh : pada awalnya Anda mengira bahwa di negara-negara Arab yang ada hanyalah kesalehan dn ketatan pada agama Islam, sampai suatu kali Anda membaca di Majalah TEMPO yang menceritakan suatu tempat maksiat di Negara Bahrain. Anda harus menyusun kembali citra Anda tentang negara-negara yang ada di jazirah Arab.
Contoh lain adalah, selama beberapa tahunorang Amerika memandang Richard Nixon sebagai seorang pemimpin negara yang baik, sampai 2 orang wartawan membongkar skandal Watergate. Mereka harfus mengubah citra mereka terhadap Nixon. Sampai kemudia mereka memprotes dan Nixon diganti.

Laporan investigative wartawan amat menentukan dalam mengubah citra kita tentang lingkungan. Perubahan citra tentu saja disusul dengan serangkaian perilaku. Meskipun laporan itu belum tentu benar, tetapi orang tidak mempunyai waktu untuk memeriksa kebenarannya, sedangkan tindakan tidak dapat ditangguhkan.
Misalnya, Kampung tertentu di daerah tertentu banyak didatangi pengunjung dari luar daerah, setelah diberitakan bahwa kampung itu berhasil dalam mengubah lingkungannya.

Media massa mengubah citra khalayak tentang lingkungannya. Media massa memberikan perincian, analisis, dan tinjauan mendalam tentang berbagai peristiwa. Penjelasan itu tidak mengubah, tetapi menjernihkan citra kita tentang
Lingkungan.
Oleh karena itu, karne penjelasan media massa tersebut, kita bahkan dapat menentukan mana isu yang penting dan mana yang tidak penting.

Efek Prososial Kognitif
Bila taelevisi, radio, dan surat kabar menyampaikan informasi atau nilai-nilai yang berguna, apakah khalayaknya akan memperoleh manfaat?
Yang dimaksud adalah, bila televisi menyebabkan Anda lebih mengerti tentang Bahasa Indonesia yang baik dan beanr, maka televisi telah menimbulkan efek prososial kognitif. Bila majalah menyajikan penderitaan rakyat miskin di pedesaan, dan hati Anda tergerak untuk menolong mereka , maka media massa telah menghasilkan efek prososial afektif. Bila surat kabar membuka dompet bencana alam, menghimbau Anda untuk menyumbang, lalu Anda mengirimkan sumbangan dalam bentuk uang ke sana, maka terajdilah efek prososial behavioral.
Contoh : Film televisi “Sesame Street”. Film ini dibuat dalam rangka mempersiapkan anak-anak prasekolah untuk mengembangkan ketrampilan dalam hal :
1. proses simbolik, seperti mengenal huruf, angka, bentuk – bentuk geometris;
2. Organisasi kognitif seperti diskriminasi perseptual, memahami hubungan di antara objek dan peristiwa, mengklasifikasikan, memilih, dan menyusun;
3. Berpikir dan memecahkan masalah;
4. Berhubungan dengan dunia fisik dan sosial..

Film ini dirancang oleh pendidik, psikolog, dan ahli-ahli media massa.
Setelah diteliti secara mendalam, baik melalui penelitian lapangan maupun penelitian eksperimen, terbukti bahwa film tersebut berhasil mempermudah proses belajar.
Digabungkan dengan dorongan orang dewasa, efek prososial kognitif ini makin kelihatan. Hal ini terlihat ketika ada siaran pendidikan televisi, yang menggabungkan unsur informasi dan hiburan, telah berhasil menanamkan pengetahuan, pengertian, dan ketrampilan.

Banyak orang memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang bidang yang diminatinya dari berita dan pandangan yang ditampilkan oleh surat kabar, radio, dan televisi. Bahkan majalah-majalah, terutama majalah khusus yang diterbitkan untuk profesi atau kalangan tertentu, telah menjadi sumber informasi dan rujukan bagi pembacanya. Buku sudah menjadi tempat penyimpanan memori peradaban manusia sepanjang jaman. Pada buku orang menyimpan pengetahuan, dan dari buku mereka memperoleh pengetahuan.
Semua bentuk media massa telah menyumbang bagi transformasi nilai-nilai dan perbendaharaan pengetahuan dan peradaban umat manusia.

Efek Prososial Behavioral
Salah satu perilaku prososial ialah memiliki ketrampilan ayng bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Ketrampilan seperti ini biasanya diperoleh dari saluran-saluran interpersonal seperti orang tua, teman, atasan, guru, dan sebagainya.
Dalam dunia modern sekarang ini, sebagian dari tugas mendidik telah dilakukan oleh media massa. Buku, majalah, dan surat kabar sudah diketahui mengjarkan kepada pembacanya berbagai ketrampilan. Buku teks menyajikan petunjuk penguasaan ketrampilan secara sistematis dan terarah. Majalah profesi memberikan resep-resep praktis dalam emngatrasi berbagai persoalan. Surat kabar membuka berbagai ruang ketrampilan seperti fotografi, petunjuk penggunaan komputer, rsep makanan, dan sebagainya.

Teori psikologi yang dapat menjelaskan efek prososial media massa adalah teori belajar sosial yang dikembangkan oleh Bandura. Menurut Bandura, kita belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tapi dari peniruan atau peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan. Artinya, kita mampu memiliki ketrampilan tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik diri kita.

Bandura menjelaskan proses belajar sosial dalam 4 tahapan proses, yaitu :
1. Proses perhatian
2. Proses Pengingatan
3. Proses reproduksi motoris
4. Proses motivasional

1) Proses Perhatian
Permulaan proses belajar ialah munculnya peristiwa yang dapat diamati secara langsung atau tidak langsung oleh seseorang. Peristiwa itu dapat berupa tindakan tertentu (misalnya menolong orang tenggelam) atau gambaran pola pemikiran. Kita mengamati peristiwa tersebut dari orang tua kita, teman, guru, atau sajian media massa.
Kita baru dapat mempelajari sesuatu bila kita memperhatikannya. Setiap saat
kita menyaksikan peristiwa yang dapat kita teladani. Tetapi tidak seluruh
peristiwa itu kita perhatikan.
Menurut Bandura, peristiwa yang menarik perhatian ialah yagn tampak
menonjol dan sederhana, terjadi berulang-ulang, dan menimbulkan perasaan
positif pada pengamatnya.

2. Proses Pengingatan
Perhatian saja tidak cukup menghasilkan efek prososial. Khalayak harus
Sanggup menyimpan hasil pengamatannya dalam benaknya dan
memanggilnya kembali tatkala mereka akan bertindak sesuai dengan teladan
yang diberikan.

3. Proses reproduksi motoris
Tahap ini tahap menghasilkan kembali perilaku atau tindakan yang kita
amati. Untuk melakukan itu, perlu motivasi.
4. Proses Motivasional
Proses motivasional bergantung pada peneguhan. Ada 3 macam peneguhan yang mendorong kita bertindak, yaitu peneguhan eksternal, peneguhan gantian, dan peneguhan diri.
Misalnya, Pelajaran Bahasa Indonesia yang baik dan benar telah kita simpan dalam memori kita. Kita bermaksud mempraktekkannya dalam percakapan dengan kawan kita. Kita akan melakukannya hanya apabila kita mengetahui orang lain tidak akan mencemoohkan kita, atau bila kita yakin bahwa orang lain akan menghargai tindakan kita. Ini yang disebut peneguhan eksternal.

Kita akan terdorong melakukan perilaku teladan bila kita melihat orang lain yang berbuat sama mendapat ganjaran karena perbuatnnya. Inilah yang disebut peneguhan gantian.
Akhirnya tindakan teladan akan kita lakukan bila diri kita sendiri mendorong tindakan itu. Dorongan dari diri sendiri itu mungkin timbul dari perasan puas, senang, atau dipenuhinya citra diri yang ideal.


Sumber :UNIVERSITAS MERCU BUANAK, FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI , Oleh : Drs. Riswandi, M.Si.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Reaksi Khalayak Terhadap Media Massa

2

I. Teori Melvin deFleur dan Sandra Ball-Rokeach
DeFleur dan Ball-Rokeah melihat pertemuan khalayak dengan media berdasarkan 3 kerangka teroritis, yaitu :
1. Perspektif perbedaan individual
2. Perspektif kategori sosial
3. Perspektif hubungan sosial

1) Perspektif perbedaan individual
Perspektif perbedaan individual memandang bahwa sikap dan organisasi personal-psikologis individu akan menentukan bagaimana individu memilih stimuli dari lingkungan, dan bagaimana ia memberi makna terhadap stimuli tersebut.
Setiap orang mempunyai potensi biologis, pengalaman belajar, dan berada dalam lingkungan yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan pengaruh media masa yang berbeda pula.
Artinya, ada orang yang senang menonton tayangan sinetron sementara yang lainnya
benci dengan tayangan itu, tetapi lebih senang pada berita; ada orang yang setuju dengan tayangan infotainment sementara yang lainnya mengatakan tayangan itu tidak bermanfaat, bahkan haram; dan sebagainya.

Adanya perbedaan respon atau perbedaan sikap individu terhadap media sebenarnya dapat dipahami, karena konsep individu itu berasal dari kata individuum, yang artinya tidak terbagi. Manusia sebagai indidividu berarti orang perorangan yang mempunyai ciri-ciri kepribadian yang tidak ada duanya atau unik/khas dirinya. Bahkan meskipun ada dua orang anak kembar yang berasal dari sel telur yang sama, tetapi karakter mereka adalah berbeda. Kelihatannya sama akan tetapi sebenarnya ada nuansa atau perbedaan tipis dalam hal kepribadian mereka.

2) Perspektif kategori sosial
Perspektif kategori sosial berasumsi bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang reaksinya pada stimuli tertentu cenderung sama. Kelompok sosial berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan, pendidikan, hobby, tempat tinggal, gaya hidup, dan keyakinan beragama menampilkan kategori respons yang cenderung sama terhadap berbagai aspek kehidupan..
Anggota-anggota kategori tertentu akan cenderung memilih isi komunikasi yang sama dan akan memberi respons kepadanya dengan cara yang hampir sama pula.
Misalnya, anak-anak akan membaca Bobo, Ananda, Hai, dsbnya;
Ibu-ibu akan akan membaca Femina, Ayah Bunda; orang-orang yang senang dengan motor/mobil akan berlangganan majalah Otomotif atau Otobuilt; orang-orang yang senang tanaman akan membaca majalah Trubu, dan sebagainya.

3) Perspektif hubungan sosial
Perspektif ini menekankan pentingnya peranan hubungan sosial yang informal dalam mempengaruhi reaksi orang terhadap media massa.
Perspektif ini tampak pada model “two step flow of communications”.
Dalam model ini, informasi bergerak melewati dua tahap. Tahap pertama; informasi bergerak pada sekelompok individu yang relatif lebih tahu dan sering memperhatikan media massa. Tahap kedua; informasi bergerak dari orang-orang tersebut di atas (disebut pemuka pendapat/opinion leader) dan kemudian melalui saluran-saluran interpersonal disampaikan kepada individu yang bergantung kepada mereka dalam hal informasi.
Jadi penekanannya adalah pada adanya relasi social informal yang berlangsung di antara orang-orang, yang antara lain peranan ini dimainkan oleh pemuka pendapat seperti yang ada di pedesaan, misalnya kiai, ajengan, niniak mamak, tetua adat, dan sebagainya.
Berbicara mengenai motivasi khalayak dalam menggunakan media, berarti focus perhatian diarahkan pada teori Uses and Gratification.
Teori ini menjawab pertanyaan-pertanyaan : apa yang mendorong kita menggunakan media? Mengapa kita senang acara X dan membenci acara Y? Bila Anda kesepian, mengapa Anda lebih senang mendengarkan musik klasik dalam radio daripada membaca novel? Apakah media massa berhasil memenuhi kebutuhan kita?.
Para pendiri teori ini adalah Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch.

Asumsi-asumsi teori uses and gratification adalah :
1. Khalayak dianggap aktif; artinya penggunaan media massa oleh khalayak diangap mempunuai tujuan.
2. Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
3. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media hanyalah sebagian dari begitu luasnya kebutuhan manusia. Bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi media amat bergantung pada perilaku khalayak yang bersangkutan.
4. Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak; artinya orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu.
5. Penilaian tentang arti kultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak.

Model uses and gratification memandang individu sebagai mahluk supra- rasional dan sangat selektif. Jadi model ini bertolak belakang dengan model atau teori “Jarum Hipodermic” atau “Magic Bullets Theory” yang memandang media massa, lewat pesan-pesannya, adalah sangat ampuh/powerful, sementara di sisi lain khalayak dipandang pasif.

Jadi jelaslah kita menggunakan media massa karena didorong oleh motif-motif tertentu. Ada berbagai kebutuhan yang dipuaskan oleh media massa, dan pada pada saat yang sama, kebutuhan ini dapat pula dipuaskan sumber lain selain media massa.
Misalnya, ketika kita ingin mencari kesenangan, maka media massa dapat memeberikan hiburan; ketika kita mengalami goncangan batin, maka media massa memberikan kesempatan untuk melarikan diri dari kenyataan; ketika kita kesepian, maka media massa berfungsi sebagai sahabat.
Akan tetapi, semua yang disebut di atas, yaitu hiburan, kesenangan, persahabatan, dan ketenangan dapat juga diperoleh dari sumber-sumber lain, seperti kawan, hobi, atau rumah ibadah.
Oang-orang berbeda pendapat mengenai apakah konsumsi media massa merupakan perilaku yang didorong oleh motif. Sebagian orang mengatakan bahwa terpaan media lebih merupakan kegiatan yang kebetulan dan sangat dipengaruhi oleh factor eksternal. Sebagian yang lain memandang pemuasan kebutuhan dengan media begitu kecil dibandingkan dengan kebutuhan khalayak, sehingga faktor motivasional hamper tidak berperan dalam menentukan terpaan media. Sebagian yang berpendapat bahwa, walaupun ada pemuasan potensial dalam komunikasi massa, akan tetapi kita tidak begitu berhasil dalam menemukan pemuasan karena media massa tidak memberikan petunjuk tentang potensi ganjaran yang dapat diberikannya.

II. Motif Kognitif Gratifikasi Media
Motif kognitif menekankan kebutuhan manusia akan informasi dan kebutuhan untuk mencapai tingkat ideasional tertentu.
1. Teori Konsistensi
Teori ini mendominasi penelitian psikologi sosial pada tahun 1960-an. Teori ini memandang manusia sebagai mahluk yang dihadapkan pada berbagai konflik. Konflik ini mungkin terjadi di antara beberapa kepercayaan yang dimilikinya.
Misalnya di antara kepercayaan “merokok itu merusak kepercayaan” dan “merokok itu membantu proses berpikir”.
Atau konflik di antara beberapa hubungan sosial, misalnya “saya menyukai Rini”; Rini membenci Iwan”; sedangkan “Saya menyukai Iwan”, konflik di antara pengalaman masa lalu dan masa kini.

Dalam suasan konflik, manusia tidak tenang dan berusaha mendamaikan konflik itu dengan mencari kompromi. Kompromi diperoleh dengan rasionalisasi.
Misalnya, kembali pada contoh di atas, “Tetapi rokok yang saya isap sudah disaring filter”, atau “saya merokok tidak terlalu sering-sering amat”. Atau melemahkan salah satu kekuatan penyebab konflik, misalnya “Saya tidak begitu senang pada Iwan”.

Dalam hubungan ini, Komunikasi massa empunyai potensi untuk menyampaikan informasi yang menggoncangkan kestabilan psikologis individu. Tetapi pada saat yang sama, karena individu mempunyai kebebasan untuk memilih isi media, media massa memberikan banyak peluang untuk memenuhi kebutuhan akan konsisitensi.
Media massa juga menyajikan berbagai rasionalisasi, justifikasi, atau pemecahan persoalan yang efektif. Komunikasi massa kadangkala lebih efektif daripada komunikasi interpersonal, karena melalui media massa orang menyelesaikan persolan tanpa terhambat gangguan seperti yang terjadi dalam situasi komunikasi interpersonal.

2. Teori Atribusi
Teori ini berkembang pada tahun 1960-an dan 1970-an. Teori ini memandang individu sebagai psikolog amatir yang mencoba memahami sebab-sebab yang terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapinya.

Teori ini mencoba mencoba menemukan apa yang menyebabkan apa, atau apa yang mendorong siapa untuk melakukan apa. Respons yang kita berikan pada suatu peristiwa bergantung pada interpretasi kita tentang peristiwa itu.
Misalnya, kita tidak begitu gembira ketika dipuji oleh orang – yang menurut persepsi kita – menyampaikan pujian itu kepada karena ingin dia ingin meminjam uang pada kita.

Teori Atribusi menyatakan, kita memiliki banyak teori tentang peristiwa-peristiwa. Kita senang bila teori-teori ini “terbukti” benar.
Dalam kaitannya dengan komunikasi massa, media massa memberikan validasi atau pembenaran pada teori kita dengan menyajikan realitas yang disimplikasikan, dan didasarkan pada stereotype.
Media massa seringkali menyajikan kisah-kisah (fiktif atau faktual) yang menunjukkan bahwa yang jahat selalu kalah dan kebenaran selalu menang. Berbagai kelompok yang mempunyai keyakinan yang menyimpang dari norma yang luas dianut oleh masyarakat akan memperoleh validasi dengan membaca majalah atau buku dari kelompoknya.
Misalnya, orang-orang lesbian atau homoseks yakin bahwa perilakunya bukanlah menyimpang, karena mereka membaca buku dan majalah yang mendukungnya.

3. Teori Kategorisasi
Teori ini memandang manusia sebagai mahluk yang selalu mengelompokkan pengalamannya dalam kategorisasi yang sudah dipersiapkannya.
Untuk setiap peristiwa sudah disediakan tempat dalam prakonsepsi yang dimilikinya. Dengan cara itu, individu menyederhanakan pengalaman, tetapi juga membantu mengkoding pengalaman dengan cepat.

Menurut teori ini, orang memperoleh kepuasan apabila sanggup memasukkan pengalaman dalam kategori-kategori yang sudah dimilikinya, dan menjadi kecewa bila pengalaman itu tidak cocok dengan prakonsepsinya.
Dikaitkan dengan komunikasi massa, pandangan ini menunjukkan bahwa isi media massa, yang disusun berdasarkan alur-alur cerita yang tertentu, dengan mudah diasimilasikan pada kategori-kategori yang ada. Berbagai upacara, pokok dan tokoh, dan berbagai peristiwa biasanya ditampilkan sesuai dengan kategori-kategori yang sudah diterima.
Misalnya, ilmuwan yang berhasil karena kesungguhannya, pengusaha yang sukses karena bekerja keras, adalah contoh-contoh peristiwa yang memperkokoh prakonsepsi bekerja keras dan kesungguhan.

4. Teori objektifikasi
Teori memandang manusia sebagai mahluk yang pasif, yang tidak berpikir, yang selalu mengandalkan petunjuk-petunjuk eksternal untuk merumuskan kosep-konsep tertentu.
Teori ini menunjukkan bahwa kita mengambil kesimpulan tentang diri kita dari perilaku yang tampak.

Teori objektifikasi menunjukkan bahwa terpaan isi media dapat memberikan petunjuk kepada individu untuk menafsirkan atau mengidentifikasi kondisi perasaan yang tidak jelas, untuk mengatribusikan perasaan-perasaan negatif pada faktor-faktor eksternal, atau untuk memberikan kriteria pembanding yang ekstrem untuk perilakunya yang kurang yang kurang baik.
Misalnya, seorang pegawai yang merasa tidak begitu bersalah ketika ia menyelewengkan uang kantor setelah mengetahui peristiwa korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh orang lain.

5. Teori Otonomi
Teori ini memandang manusia sebagai mahluk yang berusaha mengaktualisasikan dirinya sehingga mencapai identitas kepribadian yang otonom.
Dalam kaitannya dengan komunikasi massa, media massa tampaknya sedikit sekali memuaskan kebutuhan humanistik ini. Acara televisi atau isi surat kabar tidak banyak membantu khalayak untuk menajdi orang yang mampu mengendalikan nasibnya.

6. Teori Stimulasi
Teori ini memandang manusia sebagai mahluk yang “lapar stimuli”, yang senantiasa mencari pengalaman-pengalaman yang baru, yang selalu berusaha memperoleh hal-hal yang memperkaya pemikirannya.
Dalam hubungannya dengan komuniksi massa, media massa seperti TV, radio, film, dan surat kabar mengantarkan orang paa dunia yajng tidak terhingga, baik lewat kisah-kisah yang fantastis maupun yang aktual.

III. Motif Afektif Gratifikasi Media
1. Teori Reduksi Ketegangan
Teori memandang manusia seabgai sistem tegangan yang memperoleh kepuasan pada pengurang ketegangan.
Tegangan emosional karena marah berkurang setelah kita mengungkapkan kemarahan itu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ungkapan perasaan dipandang dapat berfungsi sebagai katarsis atau pelepas ketegangan.

Menurut kerangka teori ini, komunikasi massa menyalurkan kecenderungan destruktif manusia dengan menyajikan peristiwa-peristiwa atau adegan-adegan kekerasan.
Itulah sebabnya teori ini mengatakan, penjahat mungkin tidak jadi melepaskan dendamnya setelah puas menyaksikan pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh seorang jagoan dalam film.
2. Teori Ekspresif
Teori ini mengatakan bahwa orang memperoleh kepuasan dalam mengungkapkan eksistensi dirinya, dalam arti menampakkan perasaan dan keyakinannya.
Dalam hubungannya dengan komunikasi massa, komunikasi massa mempermudah orang untuk berfantasi, melalui identifikasi dengan tokoh-tokoh yang disajikan, sehingga orang secara tidak langsung mengungkapkan perasaannya.
Media massa bukan saja membantu orang untuk mengembangkan sikap tertentu, tetapi juga menyajikan berbagai macam permainan untuk ekspresi diri, misalnya melaui teka teki silang, kontes, acara kuis dan lain-lain.
3. Teori ego-defensif
Teori ini beranggapan bahwa dalam hidup ini kita mengembangkan citra diri yang tertentu dan berusaha untuk mempertahankan citra diri ini.
Dalam hubungannya dengan komunikasi massa, dari media massa kita memperoleh informasi untuk membangun konsep diri kita , pandangan dunia kita, dan pandangan kita tentang sifat-sifat manusia.

Pada saat citra diri kita mengalami kerusakan, media massa dapat mengalihkan perhatian kita dari kecemasan kita. Dengan demikian, komunikasi massa memberikan bantuan dalam melakukan teknik-teknik pertahanan ego.

4. Teori Peneguhan
Teori ini memandang bahwa orang dalam situasi tertentu akan bertingkah laku dengan suatu cara yang membawanya kepada ganjaran seperti yang telah dialaminya pada waktu lalu.
Menurut kerangka teori ini, orang menggunakan media massa karena mendatangkan ganjaran berupa informasi, hiburan, hubungan dengan orang lain, dan sebagainya.

Di samping isi media yang memang menarik, tindkan menggunakan media sering diasosiasikan dengan suasana yang menyenangkan; misalnya menonton televisi dilakukan di tengah-tengah keluarga, membaca buku dilakukan di tempat yang sepi dan tenang dan jauh dari gangguan, dan sebagainya.

5. Teori Afiliasi
Teori ini memandang manusia sebagai mahluk yang mencari kasih sayang dan penerimaan orang lain.
Dalam hubungannya dengan gratifikasi media, banyak sarjana ilmu komunikasi yang menekankan fungsi media massa dalam menghubungkan individu dengan individu lain.
Misalnya, Lasswell menyebutnya fungsi “correlation”.
Ahli mengatakan, komunikasi massa digunakan individu untuk menghubungkan dirinya dengan orang lain seperti keluarga, teman, bangsa, dan sebagainya.

6. Teori Identifikasi
Teori ini melihat manusia sebagai pemain peranan yang berusaha memuaskan egonya dengan menambahkan peranan yang meuaskan pada konsep dirinya.
Dalam hubungannya dengan komunikasi massa, media massa yang menyajikan
cerita fiktif dan faktual, mendorong orang-orang untuk memajukan peranan yang
diakui dan berdasarkan gaya tertentu.
 
 
Sumber :UNIVERSITAS MERCU BUANAK, FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI , Oleh : Drs. Riswandi, M.Si.

Psikologi Pesan

2

TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah memperoleh materi ini mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan kembali tentang linguistik atau bahasa sebagai bentuk pengendalian perilaku komunikasi manusia, hubungan bahasa dengan persepsi dan berpikir, dan jenis-jenis makna.

I. Pengantar
Bahasa adalah teknik pengendalian perilaku orang lain, termasuk perilaku dalam berkomunikasi. Dengan bahasa, yang merupakan kumpulan kata-kata , Anda dapat mengatur perilaku orang lain.

Contoh :
- Ibu Anda dari Amerika dapat Anda gerakkan untuk datang ke rumah kontrakan Anda di Jakarta dengan mengirimkan kata-kata lewat telepon atau surat.
- Dengan teriakan “Bapak” seorang anak kecil dapat menggerakkan lelaki besar di seberang jalan untuk mendekati anak tersebut.
- Dengan aba-aba “maju-jalan” seorang sersan dapat menggerakkan puluhan tentara menghentakkan kakinya dan berjalan dengan langkah tegap.

Semua contoh-contoh tersebut di atas memperlihatkan bagaimana kekuatan bahasa atau kekuatan kata-kata (the power of word).
Bahasa adalah pesan dalam bentuk kata-kata dan kalimat, yang disebut pesan linguistik.
Manusia mengucapkan kata-kata dan kalimat dengan cara-cara tertentu. Setiap cara berkata memberikan maksud tersendiri. Cara-cara ini kita sebut pesan paralinguistik. Di samping itu manusia juga menyampaikan pesan dengan cara-cara lain selain dengan bahasa, misalnya dengan isyarat, yang disebut pesan ekstralinguistik.

II. Pesan Linguistik
Ada dua cara untuk mendefenisikan bahasa, yaitu fungsional dan formal.
Pertama; Definisi fungsional melihat bahasa dari segi fungsinya, sehingga bahasa diartikan sebagai “ alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan”.
Kedua; Definisi formal menyatakan bahasa sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dibuat menurut peraturan tata bahasa. Setiap bahasa mempunayi peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberi arti.

Tata bahasa meliputi 3 unsur, yaitu fonologi, sintaksis, dan semantik.
Untuk mampu menggunakan bahasa tertentu, kita harus menguasai ketiga tahap pengetahuan bahasa tersebut di atas, ditambah dua tahap lagi. Pada tahap pertama, kita harus mempunyai informasi fonologis tentang bunyi-bunyi dalam bahasa tersebut. Misalnya, kita harus bisa membedakan bunyi ‘th’ dalam “the” dengan “th” dalam “think”. Pada tahap kedua, kita harus mempunyai

pengetahuan tentang sintaxis, yaitu cara pembentukan kalimat. Misalnya dalam bahasa Inggris kita harus menempatkan “to be” pada kalimat-kalimat nominal. Pada tahap ketiga, kita harus mengetahui secara leksikal arti kata atau gabungan kata-kata. Misalnya, kita harus tahu apa arti “take” dan “take into account”. Pada tahap keempat, kita harus memiliki pengetahuan konseptual tentang dunia tempat tinggal kita dan dunia yang kita bicarakan. Dan pada tahap kelima, kita harus mempunyai semacam kepeercayaan untuk menilai apa yang kita dengar.

III. Belajar Bahasa
Bagaimana manusia belajar bahasa sudah menjadi perhatian manusia sejak berabad-abad yang lalu. Beberapa penelitan membuktikan bahwa bila seorang anak manusia dipisahkan dari lingkungan manusia, maka ia tidak mampu berbicara. Sebaliknya, kita dapat melihat seorang anak berusia 4 tahun sudah dapat berbicara dengan kawan-kawannya dalam bahasa ibunya. Teori psikologi menyajikan dua teori mengenai bagaimana manusia dpat belajar, yaitu teori belajar dan teori nativisme.

III. Teori Belajar
Menurut teori belajar, anak-anak memperoleh pengetahuan bahasa melalui tiga proses, yaitu asosiasi, imitasi, dan peneguhan.
Asosiasi berarti melazimkan suatu bunyi dengan objek tertentu.
Imitasi berarti menirukan pengucapan dan struktur kalimat yang didengarnya.
Peneguhan dimaksudkan sebagai ungkapan kegembiraan yang dinyatakan ketika anak mengucapkan kata-kata yang benar.

B.F. Skinner menerapkan ketiga prinsip ini ketika menjelaskan 3 macam respon yang terjadi pada anak-anak, yang disebutnya respon mand, tact, dan echoic.

Respon mand ketika anak-anak mengeluarkan bunyi secara sembarangan. Misalnya, anak mengeluarkan bunyi “u-u” dan orangtuanya menganggapnya sebagai permintaan(command atau demand) agar diberi air. Kemudian orang tuanya segera memberinya air. Sejak saat itu, kalau si bayi menginginkan air, maka ia segera mengucapkan “u-u”.
Respon tact terjadi bila anak menyentuh objek, kemudian secra sembarangan ia mengucapkan bunyi. Orang tuanya Mengira ia menyebutkan satu kata, dan memberikan ganjaran. Misalnya, anak menyentuh gelas yang berisi air, lalu secara sembarangan ia mengucapkan “u-u”. Orang tuanya beranggapan bahwa anak itu mengatakan minum, lalu Sejak itu ketika anak mengucapkan “u-u”, maka orang tuanya memberinya minum.
Respon echoic terjadi ketika anak menirukan ucapan orang tuanyadalam hubungan dengan stimuli tertentu. Misalnya, setiap kali ibu memberikan air segar, ia mengatakan ‘minum”. Anak mencoba menirunya dan mengucapkan “u-u”. Sang ibu gembira mendengar ucapan itu, lalu memeluk, memangkunya sambil mengucapkan kata-kata yang lembut. Inilah yang disebut seabgai peneguhan terhadap upaya imitasiyang dilakukan anak.

Menurut Noam Chomsky, setiap anak mampu menggunakan satu bahasa karena adanya pengetahuan bawaan (preexistent knowledge) yang telah diprogram secara genetik dalam otak kita. Chomsky menyebutnya sebagai L.A.D
(Language Acquisition Device). LAD tidak mengandung kata, arti, atau gagasan, tetapi hanyalah satu sistem yang memungkinkan manusia menggabungkan komponen-komponen bahasa. Walaupun bentuk luar bahasa-bahasa di dunia ini berbeda-beda, akan tetapi bahasa-bahasa itu mempunyai kesamaan dalam struktur pokok yang mendasarinya. Inilah yang disebut Chomsky sebagai linguistik universal.

Adanya dasar fisiologis dari kemampuan dasar berbahasa dibuktikan dengan penemuan bidang Broca dan bidang Wernicke pada otak manusia.
Bidang Broca mengatur sintaxis, sehingga gangguan atau kerusakan pada bidang ini menyebabkan orang berbicara terpatah-patah dengan susunan kata yang tidak teratur. Kerusakan pada bidang Wernicke menyebabkan orang berbicar lancar tetapi tidak mempunyai arti.
Teori perkembangan mental dari Jean Piaget memprkuat teori Chomsky dengan menunjukkan adanya struktur universal yang menimbulkan pola berpikir yang sama pada tahap-tahap tertentu dalam perkembangan mental anak-anak. Kedua ahli membuktikan bahwa otak manusia bukanlah penerima pengalaman yang pasif, bukan papan tulis yang kosong, tetapi sebuah organ yang diperlengkapi dengan kemampuan-kemampuan bawaan. Penelitian eksperimen membuktikan bahwa, otak anak sejak lahir telah membawa prinsip-prinsip berbahasa yang sesungguhnya bukan merupakan proses hasil belajar.
Singkatna, bahasa merupakan proses interaksi di antara proses biokimia, faktor-faktor kematangan, strategi belajar, dan lingkungan sosial. Dalam konteks komunikasi, kedua teori tersebut di atas memberikan dasar bagi kita dalam menanmkan kemampuan menyusun pesan linguistik atau konsep-konsep baru pada komunikate.

IV. Bahasa dan Proses Berpikir
Menurut teori principle of linguistic relativity, bahasa menyebabkan kita memandang realitas sosial dengan cara tertentu. Teori ini dikembangkan oleh Von Humboldt, Sapir, dan Whorf.

Menurut Whorf, pandangan kita tentang dunia dibentuk oleh bahasa, dan karena bahasa berbeda, maka pandangan kita tentang dunia juga berbeda.
Secara selektif, kita menyaring data sensori yang masuk seperti telah diprogram oleh bahasa yang kita pakai. Dengan demikian, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda hidup dalam dunia sensori yang berbeda pula.
Menurut Whorf, kategori gramatikal suatu bahasa menunjukkan kategori kognitif dari pemakai bahasa itu. Seperti halnya tentang persepsi, kita melakukan persepsi dengan menggunakan kategori kognitif. Kita juga berpikir dengan memakai kategori-kategori ini. Kita memberikan arti kepada apa yang kita lihat, yang kita dengar, atau yang kita rasa sesuai dengan kategori-kategori yang ada dalam bahasa kita.

Dalam hubungannya dengan berpikir, konsep-konsep dalam suatu bahasa cenderung menghambat atau mempercepat proses pemikiran tertentu.
Ada bahasa yang dengan mudah dapat digunakan untuk memikirkan masalah-masalah filsafat, tetapi ada juga bahasa yang sukar dipakai bahkan untuk memecahklan masalah-masalah matematika yang sederhana.

Bahasa terbukti mempermudah kemampuan belajar dan mengingat, memecahkan persoalan, dan menarik kesimpulan.
Bahasa memungkinkan kita untuk menyandi peristiwa-persitiwa dan objek-objek dalam bantuk kata-kata. Dengan bahasa, kitaa mengabstraksikan pengalaman kita, dan mengkomunikasikannya pada orang lain.
Yang perlu diingat adalah , bahwa kata-kata juga dapat menghambat proses berpikir. Hal ini terjadi bila ada kebingungan dalam mengartikan kata-kata.

V. Kata-kata dan Makna
Ada 3 jenis makna sebagai berikut :
1. Makna Inferensial,yaitu makna satu lambang atau kata adalah objek.
Proses pemberian makna ini terjadi ketika kita menghubungkan lambang dengan yang ditunjukkan lambang (disebut rujukan atau referent). Satu lambang dapat menunjukkan banyak rujukan.
Misalnya “jari-jari” dapat menunjukkan setengah diameter, bagian dari roda sepeda, atau bagian dari tangan.
2. Makna yang kedua menunjukkan arti (significance) suatu istilah sejauh
dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain.
3. Makna yang ketiga adalah makna intensional, yakni makna yang dimaksudkan oleh seorang pemakai lambang. Makna ini tidak dapat divalidasi secara empiris atau dicarikan rujukannya. Makna ini terdapat pada pikiran orang, dan hanya dimiliki oleh dirinya saja.

Dari perspektif psikologi, makna tidak terletak pada kata-kata, tetapi pada pikiran orang atau pada persepsinya. Makna terbentuk karena pengalaman individu.
Kesamaan makna karena kesamaan pengalaman masa lalu atau kesamaan struktur kognitif disebut isomorfisme. Isomorfisme terjadi bila komunikan-komunikan berasal dari budaya yang sama, pendidikan yang sama, status sosial yang sama, ideologi yang sama, dan seterusnya.
Orang-orang dalam kelompok yang sama bahkan sering mengembangkan kata-kata yang dimiliki secara khusu oleh kelompok mereka saja.
Dengan perkataan lain, setiap profesi mengembangkan bahasanya sendiri.

Yang perlu ditekankan adalah bahwa isomorfisme total tidak pernah terjadi. Kita semua menyimpan makna perseorangan, terutama kalau kita berbicara tentang makna konotatif.
Makna konotatif menunjukkan asosiasi emosional yang mempengaruhi reaksi kita terhadap kata-kata. Misalnya kata-kata babu, pelayan, pembantu, pramuwisma, mempunyai makna konotatif yang berbeda. Begitu pula kata kuli, buruh, pegawai, dan karyawan. Kata demokrasi bermakna konotatif baik, sedangkan diktatur bermakna konotatif jelek.

Kita sedapat mungkin menghindari kata-kata dengan konotasi negatif dan menggantinya dengan kata-kata yang berkonotasi positif. Misalnya pejabat melaporkan adanya “daerah rawan pangan”, tidak menyebutkan “daerah kelaparan”. Bapak X tidak ditahan, akan tetapi “diamankan”. Putra ibu tidak bodoh, hanya “lambat belajar”. Harga-harga tidak naik, hanya “disesuaikan”.

Alfred Korzybsky, seorang ahli bahasa mengemukakan pandangannya tentang bahasa sebagai berikut :
1)Berhati-hati dengan abstraksi
Bahasa menggunakan abstraksi. Abtraksi adalah proses memilih unsur-unsur realitas untuk membedakannya dari hal-hal yang lain. Ketika kita melakukan kategorisasi, kita menempatkan realitas dalam kategori tertentu. Untuk membuat kategori, kita harus memprhatikan hanya sebagian dari sifat-sifat objek.
Contoh : Buku; buku adalah kategoiri yang didasarkan pada kenyataan bahwa ia adalah kumpulan kertas yang dijilid. Jadi buku yang ada pada anak SD, buku anak SMP, buku di kantor, dan buku yang ada di perpustakaan.

Kata-kata yang kita pergunakan berada padaa tingkat abstraksi yang bermacam-macam. Semakin tinggi tingkat abstraksi kata, semakin sukar kata itu diverifikasi dalam kenyataan, dan makin ambigu makna kata itu.
Contoh :
A. Ilham : Adalah nama seorang pemuda : Tingkat Abstraksi : rendah
B. Pekerjaan : Mahasiswa FIKOM : ; ; : lebih tinggi
C. Kelompok pendidikan
D. Pencari ilmu
E. Pria
F. Manusia

2) Berhati-hati dengan Dimensi Waktu
Bahasa itu statis, sedangkan realitas dinamis. Ketika Anda berekasi pada satu kata, Anda sering menganggap makna kata itu masih sama. Lima tahun yang lalu anda bertemu dengan Rini. Sekarang Anda membicarakan Dia seolah-olah Anada membicarakan Rini yang lima tahun yang lalu. Padahal ia telah banyak berubah.

3) Jangan Mengacaukan Kata dengan Rujukannya
4) Jangan Mengacaukan Pengamatan dengn Kesimpulan
Ketika melihat fakta, kita membuat pernyataan untuk melukiskan fakta itu. Pernyataan itu kita sebut pengamatan. Kita menarik kesimpulan bila menghubungkan hal-hal yang diamati dengan sesuatu yang tidak teramati. Dalam pengamatan, kta menghubungkan lambang dengan rujukan. Dalam kesimpulan kita menggunakan pemikiran.

VI. Pesan Nonverbal
Mark L. Knapp mengemukakan 5 fungsi pesan nonverbal sebagai berikut :
1. Repetisi
Artinya mengulang kembali gagasan yang sudah disjikan secara verbal.
Contoh : setelah saya menjelaskan penolakan saya, saya lalu menggelengkan kepala berkali-kali.
2. Substitusi
Artinya menggantikan lambang-lambang verbal.
Contoh : Tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulut Anda, Anda dapat menunjukkan persetujuan dengan mengangguk-angguk.
3. Kontradiksi
Artinya menolak pesan verbal atau memberikan makna yang lain terhadap pesan verbal.
Contoh : Anda memuji prestasi teman Anda dengan mencibirkan bibir Anda “Hebat, kau memang hebat”.
4. Komplemen
Artinya melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal.
Contoh : Air muka Anda menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata.
5. Aksentuasi
Artinya menegaskan atau menggarisbawahi pesan verbal
Contoh : Anda mengungkapkan kejengkelan Anda dengan memukul meja.

Dale G. Leathers menyebutkan 6 alasan mengapa pesan nonverbal penting :
1. Faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal
Misalnya, ketika kita mengobrol dengan tamu kita, kita banyak menyampaikan gagasan dengan pesan-pesan nonverbal.
2. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan nonverbal
ketimbang pesan verbal.
Mahrabian telah meneliti bahwa hanya 7% rasa kasih sayang dapat
dikomuniaksikan dengan kata-kata. Selebihnya 38% lewat suara,
dan 55% dikomunikasikan lewat wajah (senyum, kontak mata, dll).
3. Pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif
Bebas dari manipulasi, distorsi, dan kerancuan.
4. Pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi.
Fungsi metakomunikatif artinya memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud dan makna pesan.
5. Pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efektif
dibandingkan dengan pesan verbal.
6. Pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat.
Ada situasi komunikasi yang menuntut kita untuk mengungkapkan gagasan atau emosi secara langsung. Sugesti di sini dimaksudkan menyarankan sesuatu kepada orang lain secara implisit.
Sugesti paling efektif disampaikan melalui pesan-pesan nonverbal.



Sumber :UNIVERSITAS MERCU BUANAK, FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI , Oleh : Drs. Riswandi, M.Si.

Sistem Komunikasi Kelompok

2

I. Pengertian
Tidak setiap himpunan orang disebut kelompok. Orang-orang yang berkumpul di pasar, terminal bis, atau yang sedang antri di loket bioskop tidak dapat disebut kelompok, tetapi disebut kumpulan/agregat.
Supaya agregat menjadi kelompok diperlukan kesadaran dari anggota-anggotanya akan adanya ikatan yang sama yang mempersatukan mereka.
Kelompok mempunyai tujuan dan organisasi (meskipun tidak selalu formal) dan melibatkan interaksi di antara anggota-anggotanya.
Jadi, ada dua tanda kelompok secara psikologis, yaitu :
1. Anggota-anggota kelompok merasa terikat dengan kelompok (ada sense of belonging) yang tidak dimiliki orang yang bukan anggota.
2. Nasib anggota-anggota saling bergantung, sehingga hasil setiap orang terkait dalam cara tertentu dengan hasil yang lain.

II. Klasifikasi Kelompok
Dari perspektif psikologi, dan juga sosiologi, kelompok dapat diklasifikasikan ke dalam :
1) Kelompok Primer dan kelompok Sekunder
2) In-group dan Out-group
3) Kelompok Keanggotaan dan Kelompok Rujukan
4) Kelompok Deskriptif dan Kelompok Preskriptif

1) Kelompok Primer dan Kelompok Sekunder
Pembagian seperti ini dikemukakan oleh Charles Horton Cooley (1909).
Kelompok primer ditandai adanya hubungan emosional, personal, dan akrab, menyentuh hati seperti hubungan dengan keluarga, teman sepermainan, tetangga sebelah rumah di pedesaan.
Kelompok sekunder adalah lawan dari kelompok primer, ditandai dengan hubungan yang tidak akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh hati kita seperti organisasi massa, fakultas, serikat buruh, dan sebagainya.

Perbedaan kelompok prmer dan kelompok sekunder dari karakteristik komunikasinya adalah sebagai berikut :
1. Kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan luas.
Artinya dalam kelompok primer kita mengungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi dengan menggunakan berbagai lambang, verbal maupun nonverbal.
Sebaliknya pada kelompok sekunder, komunikasi bersifat dangkal (hanya menembus bagian luar dari kepribadian kita) dan terbatas (hanya berkenaan dengan hal-hal tertentu saja). Di sini lambang komunikasi umumnya verbal dan sedikit sekali nonverbal.
2. Komunikasi pada kelompok primer bersifat personal. Dalam kelompok primer, yang penting buat kita personal. ialah siapa dia, bukan apakah dia. Siapa dia berarti yang dilihat adalah hakikat kemanusiaannya, bahwa dia adalah seorang manusia dengan segenap sifat-sifatnya sebagai manusia, yang baik dan yang buruk, yang mempunyai kekuatan sekaligus juga kelemahan. Sedangkan pada kelompok sekunder yang diperhatikan adalah apakah dia. Artinya yang dilihat adalah jabatan atau statusnya atau posisinya di tengah-tengah masyarakat seperti profesi atau pekerjaannya. Hubungan kita dengan anggota kelompok primer bersifat unik dan tidak dapat dipindahkan (non-transferable).
3. Pada kelompok primer, komunikasi lebih menekankan aspek hubungan
daripada aspek isi. Dalam kelompok primer, komunikasi yang berlangsung
selain lebih menekankan pada relasi antara peserta yang terlibat (komunikator –
komunikan ,misalnya orangtua-anak, guru-murid, dokter-pasien, atasan-
bawahan), juga menekankan pada cara penyampaian pesan.
Komunikasi dalam konteks ini dilakukan untuk memelihara hubungan
Baik. Sebaliknya pada kelompok sekunder, komunikasi lebih menekankan
pada isi/content atau substansinya.

2) Ingroup dan Outgroup
In-group adalah kelompok kita, dan Out-group adalah kelompok mereka.
Ingroup dapat berupa kelompok primer maupun sekunder.
Keluarga kita adalah in-group kelompok primer. Fakultas adalah in-group kelompok sekunder.
Perasan in-group diungkapkan dengan kesetiaan, solidaritas, kesenangan, dan kerja sama.
Untuk membedakan in-group dan out-group, kita membuat batas/boundaries, yang menentukan siapa masuk orang dalam dan siapa orang luar.
Batas-batas ini dapat berupa lokasi geografis (Indonesia, Thailand, dsb.); sukubangsa (Jawa, Batak, Minang); pandangan/ideologi (Muslim, Kristen, liberal, konservatif,); profesi (akuntan, pedagang, dokter, dosen); bahasa (Inggris, Cina); status sosial (elite, menengah, bawah).

3) Kelompok Keanggotaan dan Kelompok Rujukan
Pembagian kelompok ini dikemukakan oleh Theodore Newcomb yang melahirkan istilah membership group dan reference group.
Kelompok rujukan diartikan sebagai kelompok yang digunakan sebagai alat ukur/standar untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap. Jika Anda menggunakan kelompok itu sebagai teladan bagaimana seharusnya bersikap, maka kelompok itu menjadi kelompok rujukan positif. Jika Anda menggunakannya sebagai teladan bagaimana seharusnya tidak bersikap, kelompok itu menjadi kelompok rujukan negatif.

Erwin P. Bettinghaus mengemukakan cara-cara menggunakan kelompok rujukan dalam persuasi :
1. Jika mengetahui kelompok rujukan khalayak kita, hubungkanlah pesan kita dengan kelompok rujukan kita.
2. kelompok-kelompok itu mempunyai nilaiyang bermacam-macamsebagai kelompok rujukan. Misalnya bagi sebagian orang, keluarga mungkin lebih penting dari organisasi masa, dan bagi orang lain mungkin sebaliknya. Dalam merencanakan pesannya, komunikator harus memperhitungkan relevansi dan nilai kelompok rujukan yang lebih tepat bagi kelompok tertentu.
3. Kelompok keanggotaan jelas menentukan serangkaian perilaku yang baku bagi anggota-anggotanya. Standar perilaku ini dapat digunakan untuk menambah peluang diterimanya pesan kita.
4. Suasan fisik komuniksi dapat menunjukkan kemungkinan satu kelompok rujukan didahulukan dari kelompok rujukan yang lain.
5. kadang-kadang kelompok rujukan yang positif dapat dikutip langsung dalam pesan, untuk mendorong respons positif dari khalayak.

4) Kelompok Deskriptif dan Kelompok Preskriptif
John F. Cragan dan David W. Wright membagi kelompok pada dua kategori, yaitu kategori deskriptif dan kategori preskriptif.
Kategori deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah.
Kategori preskriptif mengklasifikasikan kelompok menurut langkah-langkah rasional yang harus dilewati oleh anggota kelompok untuk mencapai tujuannya.

III. Pengaruh Kelompok pada Perilaku Komunikasi
Ada tiga macam pengaruh kelompok terhadap komunikasi individu sebagai berikut :
1. Konformitas/conformity
2. Fasilitas sosial
3. Polarisasi

1) Konformitas
Konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju norma kelompok sebagai akibat tekanan kelompok , baik secara nyata/real maupun hanya bayangan.
Bila sejumlah orang dalam kelompok mengatakan atau melakukan sesuatu, ada kecenderungan para anggota untuk mengatakan dan melakukan hal yang sama. Jadi kalau Anda merencanakan untuk menjadi ketua kelompok, aturlah teman-teman Anda untuk menyebar dalam kelompok. Ketika Anda meminta persetujuan anggota, usahakan rekan-rekan Anda secara berurutan menunjukkan persetujuan mereka.
Contoh :
Pada waktu pemilihan Ketua Umum sebuah partai politik yang dihadiri oleh 33 orang perwakilan daerah. Salah seorang calon ketua umum (misalnya A) merancang 5 orang perwakilan daerah tersebut untuk berbicara dalam rapat pemilihan tersebut dan menyatakan pilihannya pada A. Maka setelah kelima orang tersebut selesai berbicara, anggota-anggota perwakilan daerah lainnya tanpa sadar akan ”terbawa” pada pendapat/pilihankelima orang tersebut, sehingga akan terpilih Calon A menjadi Ketua Umum.

2) Fasilitas sosial
Yang dimaksud dengan fasilitas sosial adalah peningkatan prestasi individu karena disaksikan kelompok.
Contoh, banyak pemain teater yang pada waktu latihan aktingnya “biasa-biasa” saja, tetapi pada waktu pertunjukan yang sesungguhnya akting mereka meningkat luar biasa dalam arti penghayatan mereka terhadap peran mereka benar-benar bagus.
Jadi ketika mereka ditonton oleh khalayak banyak atau orang banyak, prestasi pemain teater itu jauh lebih baik.
Contoh lainnya adalah : Seorang anak sekolah ketika berada di rumah akan terlihat baik perilakunya . Akan tetapi, ketika anak ini berada di tengah-tengah kelompoknya (baca : Geng Nero), maka perilakunya akan berubah menjadi nakal dan agresif. Bahkan ibunya terheran-heran dibuatnya, karena tidak menyangka anaknya bisa seperti itu, padahal di rumah ia terlihat diam dan kalem.

3) Polarisasi
Yang terjadi dalam komunikasi kelompok adalah, bahwa sebelum diskusi kelompok, para anggota mempunyai sikap agak mendukung tindakan tertentu, setelah diskusi mereka akan lebih kuat lagi mendukung tindakan itu. Sebaliknya, bila sebelum diskusi para anggota kelompok agak menentang tindakan tertentu, setelah diskusi mereka akan menentang lebih keras lagi.
Jadi polarisasi adalah proses mengkutub, baik ke arah mendukung/positif/pro maupun kea rah menolak/negative/kontra dalam suatu masalah yang diperdebatkan.

IV. Faktor Situasional yang Mempengaruhi Kelompok
Ada 4 faktor situasional yang mempengaruhi efektifitas komunikasi kelompok sebagai berikut :
1. Ukuran kelompok
2. jaringan komunikasi
3. Kohesi kelompok
4. Kepemimpinan

1) Ukuran kelompok
Hubungan antara ukuran kelompok dengan prestasi kerja kelompok/performance bergantung pada jenis tugas yang harus diselesaikan oleh kelompok.
Sehubungan dengan hal tersebut, ada dua tugas kelompok, yaitu tugas koaktif dan tugas interaktif.
Pada tugas koaktif, masing-masing anggota bekerja sejajar dengan yang lain, tetapi tidak berinteraksi.
Pada tugas interaktif, anggota-anggota kelompok berinteraksi secara terorganisasi untuk menghasilkan produk, atau keputusan.

Faktor lain yang mempengaruhi hubungan antara prestasi dan ukuran kelompok adalah tujuan kelompok. Bila tujuan kelompok memerlukan kegiatan yang konvergen (mencapai satu pemecahan yang benar), maka hanya diperlukan kelompok kecil supaya sangat produktif, terutama bila tugas yang dilakukan hanya membutuhkan sumber, ketrampilan, dan kemampuan yang terbatas.
Bila tuga memerlukan kegiatan yang divergen (menghasilkan berbagai kegiatan gagasan kreatif ), diperlukan jumlah anggota kelompok yang lebih besar.

2) Jaringan komunikasi
Ada lima macam jaringan komunikasi , yaitu :
a. roda
b. rantai
c. Y
d. lingkaran
e. bintang

Bagan atau gambar Jaringan Kelompok Roda, Rantai, Y, Lingkaran, dan Jaringan Kelompok Bintang secara lebih lengkap dapat dilihat di buku Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi.

Pada jaringan komunikasi model roda; seseorang, biasanya pemimpin, menjadi fokus perhatian. Ia dapat berhubungan dengan semua anggota kelompok, tetapi setiap anggota kelompok hanya bisa berhubungan dengan pemimpinnya.

Pada jaringan komunikasi rantai; A dapat berkomunikasi dengan B, B dapat berkomunikasi dengan dengan C, C dapat berkomunikasi dengan dengan D, dan begitu seterusnya.

Pada jaringan komunikasi Y, tiga orang anggota dapat berhubungan dengan orang-orang di sampingnya seperti pada pola rantai, tetapi ada dua orang yang hanya dapat berkomunikasi dengan hanya seseorang di sampingnya.

Pada jaringan komunikasi lingkaran; setiap orang hanya dapat berkomunikasi dengan dua orang, di samping kiri dan kanannya. Dengan perkataan lain, dalam model ini tidak ada pemimpin .

Pada jaringan komunikasi bintang, disebut juga jaringan komunikasi semua saluran/all channel, setiap anggota dapat berkomunikasi dengan semua anggota kelompok yang lain.

Dalam hubungannya dengan prestasi kelompok, Leavit menemukan bahwa jaringan komunikasi roda, yaitu yang paling memusat dari seluruh jaringan komunikasi, menghasilkan produk kelompok yang tercepat dan terorganisasi.
Sedangkan kelompok lingkaran, yang paling tidak memusat, adalah yang paling lambat dalam memacahkan masalah. Jaringan komunikasi lingkaran cenderung melahirkan sejumlah kesalahan.

Penelitian-penelitian selanjutnya membuktikan bahwa pola komunikasi yang paling efektif adalah pola semua saluran. Mengapa? Karena pola semua saluran tidak terpusat pada satu orang pemimpin, dan pola ini juga paling memberikan kepuasan kepada anggota serta paling cepat menyelesaikan tugas bila tugas itu berhubungan dengan masalah yang sulit.
Pola roda adalah pola komunikasi yang memberikan kepuasan paling rendah.

3) Kohesi kelompok
Kohesi kelompok berarti adanya semangat kelompok yang tinggi, hubungan interpersonal yang akrab, kestiakawanan, dan perasaan “kita” yang dalam.
Kohesi kelompok merupakan kekuatan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal dalam kelompok, dan mencegahnya meninggalkan kelompok.
Kohesi kelompok diukur dari :
a. keterikatan anggota secara interpersonal satu sama lain
b. ketertarikan anggota pada kegiatan dan fungsi kelompok
c. sejauh mana anggota tertarik pada kelompok sebagai alat untuk memuaskan kebutuhan personalnya.

Menurut Bestinghaus, ada beberapa implikasi komunikasi dalam kelompok kohesif, sebagai berikut :

1. Komunikator dengan mudah berhasil memperoleh dukungan kelompok jika
gagasannya sesuai dengan mayoritas anggota kelompok.
2. Pada umumnya kelompok yang lebih kohesif lebih mungkin dipengaruhi persuasi. Ada tekanan ke arah uniformitas dalam pendapat, keyakinan, dan tindakan.
3. Komunikasi dengan kelompok yang kohesif harus memperhitungkan distribusi komunikasi di antara anggota-anggota kelompok.
4. Dalam situasi pesan tampak sebagai ancaman kepada kelompok, kelompok yang lebih kohesif akan cenderung menolak pesan.
5. Sebagai konsekuensi dari poin 4 di atas, maka komunikator dapat meningkatkan kohesi kelompok agar kelompok mampu menolak pesan yang bertentangan.

4) Kepemimipinan
Kepemimpinan adalah komunikasi yang secara positif mempengaruhi kelompok untuk bergerak ke arah tujuan kelompok. Kepemimpinan adalah faktor yang paling menentukan keefektifan komunikasi kelompok.

Ada tiga gaya kepemimpinan, yaitu otoriter, demokratis, dan laissez faire.

V. Faktor Personal yang Mempengaruhi Kelompok
1. Kebutuhan interpersonal
2. Tindak komunikasi
3. Peranan

1) Kebutuhan Interpersonal
William C. Schultz merumuskan teori FIRO ( Fundamental Interpersonal Relation Orientation). Menurut teori ini, orang memasuki kelompok karena didorong oleh 3 kebutuhan interpersonal, yaitu :
a. inclusion : ingin masuk, menjadi bagian kelompok;
b. Control : ingin mengendalikan orang lain dalam suatu tatanan hirarkis.
c. Affection : ingin memperoleh keakraban emosional dari anggota kelompok yang lain.

2) Tindakan komunikasi
Bila kelompok bertemu, terjadilah pertukaran informasi. Setiap anggota berusaha menyampaikan atau menerima informasi, baik secara verbal maupun nonverbal.
Dalam tindakan komunikasi, termasuk pernyataan, pertanyaan, pendapat, atau isyarat yang disampaikan atau yang diterima oleh para anggota kelompok.

3) Peranan
Seperti halnya tindakan komunikasi, peranan yang dimainkan oleh anggota kelompok dapat membantu penyelesaian tugas kelompok, memelihara hubungan emosional yang baik, atau hanya menampilkan kepentingan individu saja. Peranan yang pertama disebut peranan tugas kelompok; sedangkan yang kedua disebut peranan pemelihara kelompok; yang ketiga disebut peranan individual.

Peranan tugas kelompok mencakup :
a. Initiator – contributor
b. Information seeker
c. Opinion seeker
d. Information giver
e. Opinion giver
f. Elaborator
g. Summarizer
h. Coordinator – integrator
i. Orienter
j. Disagreer
k. Evaluator – critic
l. Energizer
m. Procedural – technician
n. Recorder

Pendekatan Psikologi Komunikasi dan Komunikasi Efektif

2

I. Ciri Pendekatan Psikologi Komunikasi
Psikologi mengarahkan perhatiannya pada perilaku manusia dan mencoba menyimpulkan proses kesadaran yang menyebabkan terjadinya perilaku tersebut.

• Bila sosiologi melihat komunikasi pada interaksi social, filsafat pada hubungan manusia dengan realitas alam semesta, maka psikologi melihat pada perilaku individu komunikan.

Menurut Fischer, ada 4 ciri pendekatan psikologi pada komunikasi, yaitu :
1. Penerimaan stimuli secara indrawi;
2. Proses yang mengantarai stimuli dan respons;
3. Prediksi respons;
4. Peneguhan respons.

1) Psikologi mengatakan bahwa komunikasi BERMULA ATAU BERAWAL KETIKA PANCA INDRA kita DITERPA OLEH STIMULI.

Stimuli bisa berbentuk orang, pesan, suara, warna, dan sebagainya; pokoknya segala hal yang mempengaruhi kita.

2) Stimuli itu kemudian diolah dalam jiwa kita, yaitu dalam ‘kotak hitam” yang tidak pernah kita ketahui. Kita hanya mengambil kesimpulan tentang proses yang terjadi pada “kotak hitam” dari respons yang tampak. Misalnya kita mengetahui bahwa bila ia tersenyum, tepuk tangan, dan meloncat-loncat, pasti ia dalam keadaan gembira.

3) Psikologi komunikasi juga melihat bagaimana respons yang terjadi pada masa lalu dapat meramalkan respons yang akan datang. Kita harus mengetahui sejarah respons sebelum meramalkan respons individu masa sekarang.

4) Peneguhan adalah respons lingkungan (atau orang lain pada respons organisme yang asli). Ahli lain menyebutnya feedback atau umpan balik.

Menurut George A. Miller, psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan perilaku komunikasi individu.
Peristiwa mental adalah proses yang mengantarai stimuli dan respons (internal mediation of stimuli) yang berlangsung sebagai akibat belangsungnya komunikasi.

Peristiwa perilaku/behavioral adalah apa yang nampak ketika orang berkomunikasi.

Belum ada kesepakatan tentang cakupan psikologi. Ada yang beranggapan psikologi hanya tertarik perilaku yang tampak saja, sedangkan yang lain tidak dapat mengabaikan peristiwa-peristiwa mental. Sebagian peikolog hanya ingin memeriksa apa yang dilakukan orang, sebagian lagi ingin meramalkan apa yang akan dilakukan orang.

Komunikasi adalah peristiwa social. Psikologi komunikasi dapat diposisikan sebagai bagian dari psikologi social. Karena itu, psikologi social adalah juga pendekatan psikologi komunikasi.
Bila individu-individu berinteraksi dan saling mempengaruhi, maka terjadilah :
1. Proses belajar yang meliputi aspek koginitif dan aspek afektif
2. Proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang (komuniksi)
3. Mekanisme penyesuaian diri seperti sosialisasi, identifikasi, permainan peran,proyeksi, agresi, dan sebagainya.

II. Komunikasi Efektif
Menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, komunikasi yang efektif menimbulkan 5 hal, yaitu ;

1. Pengertian
2. Kesenangan
3. Pengaruh pada sikap
4. Hubungan sosial yang makin baik
5. Tindakan


1) Pengertian
Pengertian artinya penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksud oleh komunikator.
Seringkali pertengkaran atau konflik terjadi karena pesan kita diartikan lain oleh orang yang kita ajak bicara. Kegagalan menerima isi pesan secara cermat disebut kegagalan komunikasi primer (primary breakdown in communication).
Dalam konteks inilah diperlukan pemahaman orang tentang psikologi pesan dan psikologi komunikator.

2) Kesenangan
Tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan informasi dan membentuk pengertian. Misalnya ketika kita mengucapkan “Selamat pagi, apa kabar? Kita tidak bermaksud mencari keterangan. Komunikasi seperti ini dimaksudkan untuk menimbulkan kesenangan, yang lazim disebut komunikasi fatis (phatic communication).
Komunikasi seperti ini menjadikan hubungan kita hangat, akrab, dan menyenangkan. Dalam Analisis Transaksional ini disebut “ Saya Oke – Kamu Oke”. Ini memerlukan psikologi psikologi tentang sistem komuniaksi interpersonal.

3) Mempengaruhi sikap
Kita paling sering melakukan komunikasi untuk mempengaruhi orang lain.
Misalnya :
- Khotib ingin membangkitkan sikap beragama dan mendorong jemaah untuk beribadah lebih baik.
- Politisi ingin menciptakan citra yang baik pada konstituennya.
- Guru ingin mengajak muridnya untuk lebih banyak membaca buku.
- Pemasang iklan ingin merangsang selera konsumen untuk membeli barang-barang lebih banyak.
Semua yang disebutkan di atas adalah termasuk komunikasi persuasive. Komunikasi persuasive memerlukan pemahaman tentang factor-faktor pada diri komunikator, dan pesan yang menimbulkan efek pada komunikate.
Persuasive didefinisikan sebagai proses mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan orang dengan menggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri.

4) Hubungan social yang baik
Komunikasi juga ditujukan untuk menumbuhkan hubungan social yang baik.
Kebutuhan social adalah kebutuhan untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan orang lain dalam hal interaksi dan asosiasi, pengendalian, dan kekuasaan, serta cinta kasih.

Menurut penelitian, bila orang gagal menumbuhkan hubungan interpersonal, maka ia akan menjadi agresif, senang berkhayal, dingin, sakit fisik dan mental, dan menderita “flight syndrome” (ingin melarikan diri dari lingkungannya).
Kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk menumbuhkan dan mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan orang lain dalam hal interaksi dan asosiasi, pengendalian, dan kekuasaan, serta cinta kasih.
Secara singkat, kita ingin bergabung dan berhubungan dengan orang lain, kita ingin mengendalikan dan dikendalikan, kita ingin mencintai dan dicintai. Kebutuhan sosial ini hanya bisa dipenuhi dengan komunikasi interpersonal yang efektif.
Bila orang gagal dalam menumbuhkan hubungan interpersonal, maka ia menjadi agresif, senang berkhayal,dan sakit fisik dan mental, dan ingin melarikan diri dari lingkungannya.
Hasil penelitian Philip G. Zimbardo menemukan, bahwa anonimitas menjadikan orang agresif, senang mencuri dan merusak, dan kehilangan tanggung jawab sosial. Anonimitas timbul mungkin karena kegagalan komuniksi interpersonal dalam menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Supaya manusia tetap hidup secara sosial, untuk sosial survival, ia harus terampil dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi interpersonal seperti persepsi interpersonal, dan hubungan interpersonal.

5) Tindakan
Persuasi juga ditujukan untuk melahirkan tindakan yang dikehendaki.
Komunikasi untuk menimbulkan pengertian memang sulit, tetapi lebih sulit lagi mempengaruhi sikap, dan jauh lebih sulit lagi mendorong orang untuk bertindak.
Efektivitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang dilakukan komunikate.
Misalnya :
Kampanye KB berhasil bila akseptor mulai memasang IUD atau Spiral;
Propaganda suatu parpol efektif bila sekian juta mencoblos lambing parpol tersebut; pemasang iklan sukses bila orang membeli barang yang ditawarkan.

Menimbulkan tindakan nyata memang indicator efektivitas yang paling penting.
Karena untuk menimbulkan tindakan, kita harus berhasil lebih dahulu menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap.
Tindakan adalah hasil kumulatif seluruh proses komunikasi.
Ia bukan saja memerlukan pemahaman tentang seluruh mekanisme psikologis yang terlibat dalam proses komunikasi, tetapi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia.

Keberhasilan atau efektivitas komunikasi selain ditentukan oleh hal-hal tersebut di atas, juga ditentukan oleh faktor-faktor sumber/komunikator, pesan, saluran komunikasi, dan orang/khalayak yang menerima pesan tersebut.

Berikut ini dikemukakan karakteristik sumber atau komunikator yang menentukan efektivitas komunikasi.

Sebelum faktor karakteristik komunikator tersebut diuraikan, terlebih dahulu akan dijelaskan pengaruh komunikasi kita pada orang lain, sebagaimana dikemukakan oleh Herbert C. Kelman.
Menurut Kelman, pengaruh komunikasi kita pada orang lain berupa 3 hal :
1. Internalisasi
2. Identifikasi
3. Ketundukan (compliance)

Internalisasi
Internalisasi terjadi bila orang menerima pengaruh karena perilaku yang dianjurkan itu sesuai dengan sistem nilai yang dimilikinya. Kita menerima gagasan, pikiran, atau anjuran orang lain karena gagasan, pikiran, atau anjuran orang lain itu berguna untuk memecahkan masalah, penting dalam menunjukkan arah, atau dituntut oleh sistem nilai kita.

Internalisasi terjadi ketika kita menerima anjuran orang lain atas dasar rasional. Misalnya kita berhenti merokok, karena kita ingin memelihara kesehatan kita karena merokok tidak sesuai nilai-nilai yang kita anut.

Identifikasi
Identifikasi terjadi bila individu mengambil perilaku yang berasal dari orang atau kelompok lain karena perilaku itu berkaitan dengan hubungan yang mendefinisikan diri secara memuaskan (satisfying self-defining relationship) dengan orang atau kelompok itu. Hubungan yang mendefinisikan diri artinya memperjelas konsep diri.
Dalam identifikasi, individu mendefinisikan perannya sesuai dengan peranan orang lain. Dengan perkataan lain, ia berusaha seperti atau benar-benar menjadi orang lain. Dengan mengatakan apa yang ia katakan, melakukan apa yang ia akukan, mempercayai apa yang ia percayai, individu mendefinisikan dirinya sesuai dengan orang yang mempengaruhinya.
Identifikasi terjadi ketika anak berperilaku mencontoh ayahnya, murid meniru tindak tanduk gurunya, atau penggemar bertingkah dan berpakaian seperti bintang yang dikaguminya.
Dimensi ethos yang paling relevan dengan identifikasi ialah atraksi (daya tarik komunikator).

Ketundukan
Ketundukan terjadi bila individu menerima pengaruh dari orang atau kelompok lain karena ia berharap memperoleh reaksi yang menyenangkan dari orang atau kelompok lain tersebut. Ia ingin memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman dari pihak yang mempengaruhinya.
Dalam ketundukan, orang menerima perilaku yang dianjurkan bukan karena mempercayainya, tetapi karena perilaku tersebut membantunya untuk menghasilkan efek sosial yang memuaskan.
Bawahan yang mengikuti perintah atasannya karena takut dipecat, pegawai negeri yang masuk parpol tertentu karena kuatir diberhentikan, petani yang menanam sawahnya karena ancaman pamong desa adalah contoh-contoh ketundukan,

III. Karakteristik Komunikator
1) Kredibilitas
Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikate tantang sifat-sifat komunikator. Dari definisi ini terkandung dua hal, yaitu : pertama; kredibilitas adalah persepsi komunikate, jadi tidak inheren dalam diri komunikator; kedua; kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator (disebut juga komponen-komponen kredibilitas).

Karena kredibilitas itu adalah masalah persepsi, berarti kredibilitas berubah bergantung pada pelaku persepsi (yaitu komunikate), topik yang dibahas, dan bergantung pula pada situasi.
Contoh :
- Anda mungkin memiliki kredibilitas di tengah-tengah teman-teman Anda, tetapi tidak berarti apa-apa di hadapan pimpinan universitas Anda.
- Seorang rektor di kampus tertentu mungkin mempunyai kredibilitas di tengah-tengah civitas akademikanya, tetapi ketika ia di rumah, ia tidak punya kredbilitas lagi.
- Seorang dokter mempunyai kredibilitas di tengah mahsiswanya, tetapi kredibilitasnya turun ketika ia berada di tengah-tengah dokter spesialis bedah jantung.
- Seorang manajer pemasaran begitu tinggi kredibilitasnya ketika berhadapan dengan calon pembelinya, tetapi kredibilitasnya Profesor botak akan didengarkan baik oleh mahasiswanya, tetapi tetap saja akan dimakan habis oleh buaya di sungai.


- Anda mungkin memiliki kredibilitas di tengah-tengah teman-teman Anda, tetapi tidak berarti apa-apa di hadapan pimpinan universitas Anda.
- Profesor botak akan didengarkan baik oleh mahasiswanya, tetapi tetap saja akan dimakan habis oleh buaya di sungai.

Dari contoh-contoh tersebut di atas, jelaslah bahwa kredibilitas tidak ada pada diri komunikator, tetapi terletak pada persepsi si komunikate.
Oleh karena itu, ia dapat berubah atau diubah, terjadi atau dijadikan.
Kita dapat menghadirkan “the man on the street” di ruangan kuliah dan mengumumkan pada mahasiswa bahwa orang itu adalah doktor dalam ilmu komunikasi. Di sini kita membentuk persepsi orang lain dengan deskripsi verbal.
Kita juga dapat menurunkan kredibilitas komunikator dengan memberinya pakaian-pakaian yang lusuh atau menyuruhnya berperilaku yang menyebalkan.
Di sini kita memanipulasi persepsi orang dengan petunjuk nonverbal.

Hal-hal yang mempengaruhi persepsi komunikate tentang komunikator sebelum ia melakukan komunikasinya disebut prior ethos.

Sumber komunikasi memperoleh prior ethos karena berbagai hal. Kita membentuk gambaran tentang diri komunikator dari pengalaman langsung dengan komuniaktor itu, atau dari pengalaman wakilan.
Misalnya, karena sudah lama bergaul dengan dia dan sudah mengenal integritas kepribadiannya atau karena kita sudah sering melihat atau mendengarnya dalam media massa.
Bisa juga kita membentuk prior ethos komunikator dengan menghubungkannya pada kelompok rujukan orang itu, artinya kita meletakkannya pada skema kognitif kita. Misalnya, anda akan tekun mendengarkan penceramah yang diperkenalkan sebagai Kiai Haji Doktor Iwan Sugiarta, karena gelar-gelar itu melahirkan persepsi tentang kelompok yang mendalami ilmu agamanya.
Pada umumnya penelitian tentang kredibilitas berkenaan dengan prior ethos.

Faktor lain, selain persepsi dan topik yang dibahas, yang mempengaruhi kredibilitas adalah faktor situasi. Pembicara pada media massa memiliki kredibilitas yang tinggi dibandingkan dengan pembicara pada pertemuan RT. Begitu pula ceramah di hadapan civitas akademica suatu perguruan tinggi yang berstatus tinggi akan meningkatkan kredibilitas penceramah. Sebaliknya penceramah yan semula memiliki kredibilitas yang tinggi, akan hancur kredibilitasnya setelah ia berbicara pada situasi yang dipandang “kotor”, atau di tengah-tengah kelompok yang dianggap berstatus rendah.
Meskipun belum banya penelitian dilakukan tentang pengaruh situasi terhadap persepsi komunikate tentang komunikator, akan tetapi dapat diduga bahwa pada akhirnya kredibilitas dipengaruhi oleh interaksi di antara berbagai faktor.

Komponen-komponen Kredibilitas
a. Keahlian
b. Kepercayaan

Ad. a. Keahlian adalah kesan yang dibentuk komunikate tentang kemampuan komunikator dalam hubungannya dengan topik yang dibicrakan. Komunikator yang dinilai tinggi pad keahlian dianggap sebagai cerdas, mampu, ahli, tahu banyak, berpengalaman, atau terlatih. Sebaliknya komunikator yang dinilai rendah pad keahlian dianggap tidak berpengalaman, tidak tahu, atau bodoh.

Ad. b. Kepercayaan adalah kesan komunikate tentang komunikator yang brkaitan dengan wataknya. Apakah komunikator dinilai jujur, tulus, bermoral, adil, sopan, dan etis. Atau apakah komunikator dinilai tidak jujur, lancung, suka menipu, tidk adil, dan tidak etis.

Koehler, annatol, dan Appelbaum menambahkan 4 lagi sebagai komponen dari kredibilitas sebagai berikut :
a. dinamisme
b. sosiabilitas
c. koorientasi

d. karisma

Dinamisme umumnya berkaitan dengan cara orang berkomunikasi. Komunikator memiliki dinamisme bila ia dipandang sebagai bergairah, bersemangat, aktif, tegas, dan berani. Sebaliknya komunikator yang tidak dinamis dianggap pasif, ragu-ragu, dan lemah. Dalam komunikasi, dinamisme memperkokoh kesan keahlian dan kepercayaan.
Sosiabilitas adalah kesan komunkate tentang komunikator sebagai orang yang periang dan senang bergaul.
Koorientasi merupakan kesan komunikate komunikator sebagai orang yang mewakili kelompok orang yang kita senangi, yang mewakili nilai-nilai kita.
Karisma digunakan untuk menunjukkan suatu sifat luar biasa yang dimiliki komunikator yang menarik dan mengendalikan komunikate seperti magnet menarik benda-benda di sekitarnya.

2) Atraksi
Terdapat faktor-faktor situasional yang mempengaruhi atraksi interpersonal seperti daya tarik fisik, ganjaran, kesamaan, dan kemampuan.
Kita cenderung menyenangi orang-orang yang tampan dan cantik, yang banyak kesamaannya dengan kita, dan yang memiliki kemampuan yang lebih dari kita.
Atraksi fisik menyebabkan komunikator menjadi menarik, dan karena menarik ia memiliki daya persuasif. Kita juga tertarik kepada seseorang karena adanya beberapa kesamaan antara dia dengan kita.
Karena itulah, komunikator yang ingin mempengaruhi orang lain sebaiknya memulai dengan menegaskan adanya kesamaan antara dirinya dengan komunikate. Kenneth Burke, seorang ahli retorika, menyebut upaya ini sebagai “strategy of identification”.

3) Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan ketundukan. Seperti halnya kredibilitas dan atraksi, ketundukan timbul dari antara komuniaktor dan komunikate.
Kekuasaan menyebabkan seseorang komunikator dapat “memaksakan” kehendaknya kepada orang lain, karena ia memiliki sumber daya yang sangat penting.

French dan Raven mengemukakan jenis-jenis kekuasaan sebagai berikut :
1. Kekuasaan Kooersif (coersive power)
2. Kekuasaan Keahlian (expert power)
3. Kekuasaan Informasional (informational power)
4. Kekuasaan Rujukan ( referent power )
5. Kekuasaan Legal (legitimate power).



Sumber :UNIVERSITAS MERCU BUANA, FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI , Oleh : Drs. Riswandi, M.Si.

Apakah blog ini bermanfaat bagi anda ?

Blog ini dilindungi oleh hak cipta. Cantumkan link blog ini apabila menyalin sebagian/seluruh data. Powered by Blogger.