I. Teori Melvin deFleur dan Sandra Ball-Rokeach
DeFleur dan Ball-Rokeah melihat pertemuan khalayak dengan media berdasarkan 3 kerangka teroritis, yaitu :
1. Perspektif perbedaan individual
2. Perspektif kategori sosial
3. Perspektif hubungan sosial
1) Perspektif perbedaan individual
Perspektif perbedaan individual memandang bahwa sikap dan organisasi personal-psikologis individu akan menentukan bagaimana individu memilih stimuli dari lingkungan, dan bagaimana ia memberi makna terhadap stimuli tersebut.
Setiap orang mempunyai potensi biologis, pengalaman belajar, dan berada dalam lingkungan yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan pengaruh media masa yang berbeda pula.
Artinya, ada orang yang senang menonton tayangan sinetron sementara yang lainnya
benci dengan tayangan itu, tetapi lebih senang pada berita; ada orang yang setuju dengan tayangan infotainment sementara yang lainnya mengatakan tayangan itu tidak bermanfaat, bahkan haram; dan sebagainya.
Adanya perbedaan respon atau perbedaan sikap individu terhadap media sebenarnya dapat dipahami, karena konsep individu itu berasal dari kata individuum, yang artinya tidak terbagi. Manusia sebagai indidividu berarti orang perorangan yang mempunyai ciri-ciri kepribadian yang tidak ada duanya atau unik/khas dirinya. Bahkan meskipun ada dua orang anak kembar yang berasal dari sel telur yang sama, tetapi karakter mereka adalah berbeda. Kelihatannya sama akan tetapi sebenarnya ada nuansa atau perbedaan tipis dalam hal kepribadian mereka.
2) Perspektif kategori sosial
Perspektif kategori sosial berasumsi bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang reaksinya pada stimuli tertentu cenderung sama. Kelompok sosial berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan, pendidikan, hobby, tempat tinggal, gaya hidup, dan keyakinan beragama menampilkan kategori respons yang cenderung sama terhadap berbagai aspek kehidupan..
Anggota-anggota kategori tertentu akan cenderung memilih isi komunikasi yang sama dan akan memberi respons kepadanya dengan cara yang hampir sama pula.
Misalnya, anak-anak akan membaca Bobo, Ananda, Hai, dsbnya;
Ibu-ibu akan akan membaca Femina, Ayah Bunda; orang-orang yang senang dengan motor/mobil akan berlangganan majalah Otomotif atau Otobuilt; orang-orang yang senang tanaman akan membaca majalah Trubu, dan sebagainya.
3) Perspektif hubungan sosial
Perspektif ini menekankan pentingnya peranan hubungan sosial yang informal dalam mempengaruhi reaksi orang terhadap media massa.
Perspektif ini tampak pada model “two step flow of communications”.
Dalam model ini, informasi bergerak melewati dua tahap. Tahap pertama; informasi bergerak pada sekelompok individu yang relatif lebih tahu dan sering memperhatikan media massa. Tahap kedua; informasi bergerak dari orang-orang tersebut di atas (disebut pemuka pendapat/opinion leader) dan kemudian melalui saluran-saluran interpersonal disampaikan kepada individu yang bergantung kepada mereka dalam hal informasi.
Jadi penekanannya adalah pada adanya relasi social informal yang berlangsung di antara orang-orang, yang antara lain peranan ini dimainkan oleh pemuka pendapat seperti yang ada di pedesaan, misalnya kiai, ajengan, niniak mamak, tetua adat, dan sebagainya.
Berbicara mengenai motivasi khalayak dalam menggunakan media, berarti focus perhatian diarahkan pada teori Uses and Gratification.
Teori ini menjawab pertanyaan-pertanyaan : apa yang mendorong kita menggunakan media? Mengapa kita senang acara X dan membenci acara Y? Bila Anda kesepian, mengapa Anda lebih senang mendengarkan musik klasik dalam radio daripada membaca novel? Apakah media massa berhasil memenuhi kebutuhan kita?.
Para pendiri teori ini adalah Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch.
Asumsi-asumsi teori uses and gratification adalah :
1. Khalayak dianggap aktif; artinya penggunaan media massa oleh khalayak diangap mempunuai tujuan.
2. Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
3. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media hanyalah sebagian dari begitu luasnya kebutuhan manusia. Bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi media amat bergantung pada perilaku khalayak yang bersangkutan.
4. Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak; artinya orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu.
5. Penilaian tentang arti kultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak.
Model uses and gratification memandang individu sebagai mahluk supra- rasional dan sangat selektif. Jadi model ini bertolak belakang dengan model atau teori “Jarum Hipodermic” atau “Magic Bullets Theory” yang memandang media massa, lewat pesan-pesannya, adalah sangat ampuh/powerful, sementara di sisi lain khalayak dipandang pasif.
Jadi jelaslah kita menggunakan media massa karena didorong oleh motif-motif tertentu. Ada berbagai kebutuhan yang dipuaskan oleh media massa, dan pada pada saat yang sama, kebutuhan ini dapat pula dipuaskan sumber lain selain media massa.
Misalnya, ketika kita ingin mencari kesenangan, maka media massa dapat memeberikan hiburan; ketika kita mengalami goncangan batin, maka media massa memberikan kesempatan untuk melarikan diri dari kenyataan; ketika kita kesepian, maka media massa berfungsi sebagai sahabat.
Akan tetapi, semua yang disebut di atas, yaitu hiburan, kesenangan, persahabatan, dan ketenangan dapat juga diperoleh dari sumber-sumber lain, seperti kawan, hobi, atau rumah ibadah.
Oang-orang berbeda pendapat mengenai apakah konsumsi media massa merupakan perilaku yang didorong oleh motif. Sebagian orang mengatakan bahwa terpaan media lebih merupakan kegiatan yang kebetulan dan sangat dipengaruhi oleh factor eksternal. Sebagian yang lain memandang pemuasan kebutuhan dengan media begitu kecil dibandingkan dengan kebutuhan khalayak, sehingga faktor motivasional hamper tidak berperan dalam menentukan terpaan media. Sebagian yang berpendapat bahwa, walaupun ada pemuasan potensial dalam komunikasi massa, akan tetapi kita tidak begitu berhasil dalam menemukan pemuasan karena media massa tidak memberikan petunjuk tentang potensi ganjaran yang dapat diberikannya.
II. Motif Kognitif Gratifikasi Media
Motif kognitif menekankan kebutuhan manusia akan informasi dan kebutuhan untuk mencapai tingkat ideasional tertentu.
1. Teori Konsistensi
Teori ini mendominasi penelitian psikologi sosial pada tahun 1960-an. Teori ini memandang manusia sebagai mahluk yang dihadapkan pada berbagai konflik. Konflik ini mungkin terjadi di antara beberapa kepercayaan yang dimilikinya.
Misalnya di antara kepercayaan “merokok itu merusak kepercayaan” dan “merokok itu membantu proses berpikir”.
Atau konflik di antara beberapa hubungan sosial, misalnya “saya menyukai Rini”; Rini membenci Iwan”; sedangkan “Saya menyukai Iwan”, konflik di antara pengalaman masa lalu dan masa kini.
Dalam suasan konflik, manusia tidak tenang dan berusaha mendamaikan konflik itu dengan mencari kompromi. Kompromi diperoleh dengan rasionalisasi.
Misalnya, kembali pada contoh di atas, “Tetapi rokok yang saya isap sudah disaring filter”, atau “saya merokok tidak terlalu sering-sering amat”. Atau melemahkan salah satu kekuatan penyebab konflik, misalnya “Saya tidak begitu senang pada Iwan”.
Dalam hubungan ini, Komunikasi massa empunyai potensi untuk menyampaikan informasi yang menggoncangkan kestabilan psikologis individu. Tetapi pada saat yang sama, karena individu mempunyai kebebasan untuk memilih isi media, media massa memberikan banyak peluang untuk memenuhi kebutuhan akan konsisitensi.
Media massa juga menyajikan berbagai rasionalisasi, justifikasi, atau pemecahan persoalan yang efektif. Komunikasi massa kadangkala lebih efektif daripada komunikasi interpersonal, karena melalui media massa orang menyelesaikan persolan tanpa terhambat gangguan seperti yang terjadi dalam situasi komunikasi interpersonal.
2. Teori Atribusi
Teori ini berkembang pada tahun 1960-an dan 1970-an. Teori ini memandang individu sebagai psikolog amatir yang mencoba memahami sebab-sebab yang terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapinya.
Teori ini mencoba mencoba menemukan apa yang menyebabkan apa, atau apa yang mendorong siapa untuk melakukan apa. Respons yang kita berikan pada suatu peristiwa bergantung pada interpretasi kita tentang peristiwa itu.
Misalnya, kita tidak begitu gembira ketika dipuji oleh orang – yang menurut persepsi kita – menyampaikan pujian itu kepada karena ingin dia ingin meminjam uang pada kita.
Teori Atribusi menyatakan, kita memiliki banyak teori tentang peristiwa-peristiwa. Kita senang bila teori-teori ini “terbukti” benar.
Dalam kaitannya dengan komunikasi massa, media massa memberikan validasi atau pembenaran pada teori kita dengan menyajikan realitas yang disimplikasikan, dan didasarkan pada stereotype.
Media massa seringkali menyajikan kisah-kisah (fiktif atau faktual) yang menunjukkan bahwa yang jahat selalu kalah dan kebenaran selalu menang. Berbagai kelompok yang mempunyai keyakinan yang menyimpang dari norma yang luas dianut oleh masyarakat akan memperoleh validasi dengan membaca majalah atau buku dari kelompoknya.
Misalnya, orang-orang lesbian atau homoseks yakin bahwa perilakunya bukanlah menyimpang, karena mereka membaca buku dan majalah yang mendukungnya.
3. Teori Kategorisasi
Teori ini memandang manusia sebagai mahluk yang selalu mengelompokkan pengalamannya dalam kategorisasi yang sudah dipersiapkannya.
Untuk setiap peristiwa sudah disediakan tempat dalam prakonsepsi yang dimilikinya. Dengan cara itu, individu menyederhanakan pengalaman, tetapi juga membantu mengkoding pengalaman dengan cepat.
Menurut teori ini, orang memperoleh kepuasan apabila sanggup memasukkan pengalaman dalam kategori-kategori yang sudah dimilikinya, dan menjadi kecewa bila pengalaman itu tidak cocok dengan prakonsepsinya.
Dikaitkan dengan komunikasi massa, pandangan ini menunjukkan bahwa isi media massa, yang disusun berdasarkan alur-alur cerita yang tertentu, dengan mudah diasimilasikan pada kategori-kategori yang ada. Berbagai upacara, pokok dan tokoh, dan berbagai peristiwa biasanya ditampilkan sesuai dengan kategori-kategori yang sudah diterima.
Misalnya, ilmuwan yang berhasil karena kesungguhannya, pengusaha yang sukses karena bekerja keras, adalah contoh-contoh peristiwa yang memperkokoh prakonsepsi bekerja keras dan kesungguhan.
4. Teori objektifikasi
Teori memandang manusia sebagai mahluk yang pasif, yang tidak berpikir, yang selalu mengandalkan petunjuk-petunjuk eksternal untuk merumuskan kosep-konsep tertentu.
Teori ini menunjukkan bahwa kita mengambil kesimpulan tentang diri kita dari perilaku yang tampak.
Teori objektifikasi menunjukkan bahwa terpaan isi media dapat memberikan petunjuk kepada individu untuk menafsirkan atau mengidentifikasi kondisi perasaan yang tidak jelas, untuk mengatribusikan perasaan-perasaan negatif pada faktor-faktor eksternal, atau untuk memberikan kriteria pembanding yang ekstrem untuk perilakunya yang kurang yang kurang baik.
Misalnya, seorang pegawai yang merasa tidak begitu bersalah ketika ia menyelewengkan uang kantor setelah mengetahui peristiwa korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh orang lain.
5. Teori Otonomi
Teori ini memandang manusia sebagai mahluk yang berusaha mengaktualisasikan dirinya sehingga mencapai identitas kepribadian yang otonom.
Dalam kaitannya dengan komunikasi massa, media massa tampaknya sedikit sekali memuaskan kebutuhan humanistik ini. Acara televisi atau isi surat kabar tidak banyak membantu khalayak untuk menajdi orang yang mampu mengendalikan nasibnya.
6. Teori Stimulasi
Teori ini memandang manusia sebagai mahluk yang “lapar stimuli”, yang senantiasa mencari pengalaman-pengalaman yang baru, yang selalu berusaha memperoleh hal-hal yang memperkaya pemikirannya.
Dalam hubungannya dengan komuniksi massa, media massa seperti TV, radio, film, dan surat kabar mengantarkan orang paa dunia yajng tidak terhingga, baik lewat kisah-kisah yang fantastis maupun yang aktual.
III. Motif Afektif Gratifikasi Media
1. Teori Reduksi Ketegangan
Teori memandang manusia seabgai sistem tegangan yang memperoleh kepuasan pada pengurang ketegangan.
Tegangan emosional karena marah berkurang setelah kita mengungkapkan kemarahan itu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ungkapan perasaan dipandang dapat berfungsi sebagai katarsis atau pelepas ketegangan.
Menurut kerangka teori ini, komunikasi massa menyalurkan kecenderungan destruktif manusia dengan menyajikan peristiwa-peristiwa atau adegan-adegan kekerasan.
Itulah sebabnya teori ini mengatakan, penjahat mungkin tidak jadi melepaskan dendamnya setelah puas menyaksikan pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh seorang jagoan dalam film.
2. Teori Ekspresif
Teori ini mengatakan bahwa orang memperoleh kepuasan dalam mengungkapkan eksistensi dirinya, dalam arti menampakkan perasaan dan keyakinannya.
Dalam hubungannya dengan komunikasi massa, komunikasi massa mempermudah orang untuk berfantasi, melalui identifikasi dengan tokoh-tokoh yang disajikan, sehingga orang secara tidak langsung mengungkapkan perasaannya.
Media massa bukan saja membantu orang untuk mengembangkan sikap tertentu, tetapi juga menyajikan berbagai macam permainan untuk ekspresi diri, misalnya melaui teka teki silang, kontes, acara kuis dan lain-lain.
3. Teori ego-defensif
Teori ini beranggapan bahwa dalam hidup ini kita mengembangkan citra diri yang tertentu dan berusaha untuk mempertahankan citra diri ini.
Dalam hubungannya dengan komunikasi massa, dari media massa kita memperoleh informasi untuk membangun konsep diri kita , pandangan dunia kita, dan pandangan kita tentang sifat-sifat manusia.
Pada saat citra diri kita mengalami kerusakan, media massa dapat mengalihkan perhatian kita dari kecemasan kita. Dengan demikian, komunikasi massa memberikan bantuan dalam melakukan teknik-teknik pertahanan ego.
4. Teori Peneguhan
Teori ini memandang bahwa orang dalam situasi tertentu akan bertingkah laku dengan suatu cara yang membawanya kepada ganjaran seperti yang telah dialaminya pada waktu lalu.
Menurut kerangka teori ini, orang menggunakan media massa karena mendatangkan ganjaran berupa informasi, hiburan, hubungan dengan orang lain, dan sebagainya.
Di samping isi media yang memang menarik, tindkan menggunakan media sering diasosiasikan dengan suasana yang menyenangkan; misalnya menonton televisi dilakukan di tengah-tengah keluarga, membaca buku dilakukan di tempat yang sepi dan tenang dan jauh dari gangguan, dan sebagainya.
5. Teori Afiliasi
Teori ini memandang manusia sebagai mahluk yang mencari kasih sayang dan penerimaan orang lain.
Dalam hubungannya dengan gratifikasi media, banyak sarjana ilmu komunikasi yang menekankan fungsi media massa dalam menghubungkan individu dengan individu lain.
Misalnya, Lasswell menyebutnya fungsi “correlation”.
Ahli mengatakan, komunikasi massa digunakan individu untuk menghubungkan dirinya dengan orang lain seperti keluarga, teman, bangsa, dan sebagainya.
6. Teori Identifikasi
Teori ini melihat manusia sebagai pemain peranan yang berusaha memuaskan egonya dengan menambahkan peranan yang meuaskan pada konsep dirinya.
Dalam hubungannya dengan komunikasi massa, media massa yang menyajikan
cerita fiktif dan faktual, mendorong orang-orang untuk memajukan peranan yang
diakui dan berdasarkan gaya tertentu.
DeFleur dan Ball-Rokeah melihat pertemuan khalayak dengan media berdasarkan 3 kerangka teroritis, yaitu :
1. Perspektif perbedaan individual
2. Perspektif kategori sosial
3. Perspektif hubungan sosial
1) Perspektif perbedaan individual
Perspektif perbedaan individual memandang bahwa sikap dan organisasi personal-psikologis individu akan menentukan bagaimana individu memilih stimuli dari lingkungan, dan bagaimana ia memberi makna terhadap stimuli tersebut.
Setiap orang mempunyai potensi biologis, pengalaman belajar, dan berada dalam lingkungan yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan pengaruh media masa yang berbeda pula.
Artinya, ada orang yang senang menonton tayangan sinetron sementara yang lainnya
benci dengan tayangan itu, tetapi lebih senang pada berita; ada orang yang setuju dengan tayangan infotainment sementara yang lainnya mengatakan tayangan itu tidak bermanfaat, bahkan haram; dan sebagainya.
Adanya perbedaan respon atau perbedaan sikap individu terhadap media sebenarnya dapat dipahami, karena konsep individu itu berasal dari kata individuum, yang artinya tidak terbagi. Manusia sebagai indidividu berarti orang perorangan yang mempunyai ciri-ciri kepribadian yang tidak ada duanya atau unik/khas dirinya. Bahkan meskipun ada dua orang anak kembar yang berasal dari sel telur yang sama, tetapi karakter mereka adalah berbeda. Kelihatannya sama akan tetapi sebenarnya ada nuansa atau perbedaan tipis dalam hal kepribadian mereka.
2) Perspektif kategori sosial
Perspektif kategori sosial berasumsi bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang reaksinya pada stimuli tertentu cenderung sama. Kelompok sosial berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendapatan, pendidikan, hobby, tempat tinggal, gaya hidup, dan keyakinan beragama menampilkan kategori respons yang cenderung sama terhadap berbagai aspek kehidupan..
Anggota-anggota kategori tertentu akan cenderung memilih isi komunikasi yang sama dan akan memberi respons kepadanya dengan cara yang hampir sama pula.
Misalnya, anak-anak akan membaca Bobo, Ananda, Hai, dsbnya;
Ibu-ibu akan akan membaca Femina, Ayah Bunda; orang-orang yang senang dengan motor/mobil akan berlangganan majalah Otomotif atau Otobuilt; orang-orang yang senang tanaman akan membaca majalah Trubu, dan sebagainya.
3) Perspektif hubungan sosial
Perspektif ini menekankan pentingnya peranan hubungan sosial yang informal dalam mempengaruhi reaksi orang terhadap media massa.
Perspektif ini tampak pada model “two step flow of communications”.
Dalam model ini, informasi bergerak melewati dua tahap. Tahap pertama; informasi bergerak pada sekelompok individu yang relatif lebih tahu dan sering memperhatikan media massa. Tahap kedua; informasi bergerak dari orang-orang tersebut di atas (disebut pemuka pendapat/opinion leader) dan kemudian melalui saluran-saluran interpersonal disampaikan kepada individu yang bergantung kepada mereka dalam hal informasi.
Jadi penekanannya adalah pada adanya relasi social informal yang berlangsung di antara orang-orang, yang antara lain peranan ini dimainkan oleh pemuka pendapat seperti yang ada di pedesaan, misalnya kiai, ajengan, niniak mamak, tetua adat, dan sebagainya.
Berbicara mengenai motivasi khalayak dalam menggunakan media, berarti focus perhatian diarahkan pada teori Uses and Gratification.
Teori ini menjawab pertanyaan-pertanyaan : apa yang mendorong kita menggunakan media? Mengapa kita senang acara X dan membenci acara Y? Bila Anda kesepian, mengapa Anda lebih senang mendengarkan musik klasik dalam radio daripada membaca novel? Apakah media massa berhasil memenuhi kebutuhan kita?.
Para pendiri teori ini adalah Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch.
Asumsi-asumsi teori uses and gratification adalah :
1. Khalayak dianggap aktif; artinya penggunaan media massa oleh khalayak diangap mempunuai tujuan.
2. Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
3. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media hanyalah sebagian dari begitu luasnya kebutuhan manusia. Bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi media amat bergantung pada perilaku khalayak yang bersangkutan.
4. Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak; artinya orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu.
5. Penilaian tentang arti kultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak.
Model uses and gratification memandang individu sebagai mahluk supra- rasional dan sangat selektif. Jadi model ini bertolak belakang dengan model atau teori “Jarum Hipodermic” atau “Magic Bullets Theory” yang memandang media massa, lewat pesan-pesannya, adalah sangat ampuh/powerful, sementara di sisi lain khalayak dipandang pasif.
Jadi jelaslah kita menggunakan media massa karena didorong oleh motif-motif tertentu. Ada berbagai kebutuhan yang dipuaskan oleh media massa, dan pada pada saat yang sama, kebutuhan ini dapat pula dipuaskan sumber lain selain media massa.
Misalnya, ketika kita ingin mencari kesenangan, maka media massa dapat memeberikan hiburan; ketika kita mengalami goncangan batin, maka media massa memberikan kesempatan untuk melarikan diri dari kenyataan; ketika kita kesepian, maka media massa berfungsi sebagai sahabat.
Akan tetapi, semua yang disebut di atas, yaitu hiburan, kesenangan, persahabatan, dan ketenangan dapat juga diperoleh dari sumber-sumber lain, seperti kawan, hobi, atau rumah ibadah.
Oang-orang berbeda pendapat mengenai apakah konsumsi media massa merupakan perilaku yang didorong oleh motif. Sebagian orang mengatakan bahwa terpaan media lebih merupakan kegiatan yang kebetulan dan sangat dipengaruhi oleh factor eksternal. Sebagian yang lain memandang pemuasan kebutuhan dengan media begitu kecil dibandingkan dengan kebutuhan khalayak, sehingga faktor motivasional hamper tidak berperan dalam menentukan terpaan media. Sebagian yang berpendapat bahwa, walaupun ada pemuasan potensial dalam komunikasi massa, akan tetapi kita tidak begitu berhasil dalam menemukan pemuasan karena media massa tidak memberikan petunjuk tentang potensi ganjaran yang dapat diberikannya.
II. Motif Kognitif Gratifikasi Media
Motif kognitif menekankan kebutuhan manusia akan informasi dan kebutuhan untuk mencapai tingkat ideasional tertentu.
1. Teori Konsistensi
Teori ini mendominasi penelitian psikologi sosial pada tahun 1960-an. Teori ini memandang manusia sebagai mahluk yang dihadapkan pada berbagai konflik. Konflik ini mungkin terjadi di antara beberapa kepercayaan yang dimilikinya.
Misalnya di antara kepercayaan “merokok itu merusak kepercayaan” dan “merokok itu membantu proses berpikir”.
Atau konflik di antara beberapa hubungan sosial, misalnya “saya menyukai Rini”; Rini membenci Iwan”; sedangkan “Saya menyukai Iwan”, konflik di antara pengalaman masa lalu dan masa kini.
Dalam suasan konflik, manusia tidak tenang dan berusaha mendamaikan konflik itu dengan mencari kompromi. Kompromi diperoleh dengan rasionalisasi.
Misalnya, kembali pada contoh di atas, “Tetapi rokok yang saya isap sudah disaring filter”, atau “saya merokok tidak terlalu sering-sering amat”. Atau melemahkan salah satu kekuatan penyebab konflik, misalnya “Saya tidak begitu senang pada Iwan”.
Dalam hubungan ini, Komunikasi massa empunyai potensi untuk menyampaikan informasi yang menggoncangkan kestabilan psikologis individu. Tetapi pada saat yang sama, karena individu mempunyai kebebasan untuk memilih isi media, media massa memberikan banyak peluang untuk memenuhi kebutuhan akan konsisitensi.
Media massa juga menyajikan berbagai rasionalisasi, justifikasi, atau pemecahan persoalan yang efektif. Komunikasi massa kadangkala lebih efektif daripada komunikasi interpersonal, karena melalui media massa orang menyelesaikan persolan tanpa terhambat gangguan seperti yang terjadi dalam situasi komunikasi interpersonal.
2. Teori Atribusi
Teori ini berkembang pada tahun 1960-an dan 1970-an. Teori ini memandang individu sebagai psikolog amatir yang mencoba memahami sebab-sebab yang terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapinya.
Teori ini mencoba mencoba menemukan apa yang menyebabkan apa, atau apa yang mendorong siapa untuk melakukan apa. Respons yang kita berikan pada suatu peristiwa bergantung pada interpretasi kita tentang peristiwa itu.
Misalnya, kita tidak begitu gembira ketika dipuji oleh orang – yang menurut persepsi kita – menyampaikan pujian itu kepada karena ingin dia ingin meminjam uang pada kita.
Teori Atribusi menyatakan, kita memiliki banyak teori tentang peristiwa-peristiwa. Kita senang bila teori-teori ini “terbukti” benar.
Dalam kaitannya dengan komunikasi massa, media massa memberikan validasi atau pembenaran pada teori kita dengan menyajikan realitas yang disimplikasikan, dan didasarkan pada stereotype.
Media massa seringkali menyajikan kisah-kisah (fiktif atau faktual) yang menunjukkan bahwa yang jahat selalu kalah dan kebenaran selalu menang. Berbagai kelompok yang mempunyai keyakinan yang menyimpang dari norma yang luas dianut oleh masyarakat akan memperoleh validasi dengan membaca majalah atau buku dari kelompoknya.
Misalnya, orang-orang lesbian atau homoseks yakin bahwa perilakunya bukanlah menyimpang, karena mereka membaca buku dan majalah yang mendukungnya.
3. Teori Kategorisasi
Teori ini memandang manusia sebagai mahluk yang selalu mengelompokkan pengalamannya dalam kategorisasi yang sudah dipersiapkannya.
Untuk setiap peristiwa sudah disediakan tempat dalam prakonsepsi yang dimilikinya. Dengan cara itu, individu menyederhanakan pengalaman, tetapi juga membantu mengkoding pengalaman dengan cepat.
Menurut teori ini, orang memperoleh kepuasan apabila sanggup memasukkan pengalaman dalam kategori-kategori yang sudah dimilikinya, dan menjadi kecewa bila pengalaman itu tidak cocok dengan prakonsepsinya.
Dikaitkan dengan komunikasi massa, pandangan ini menunjukkan bahwa isi media massa, yang disusun berdasarkan alur-alur cerita yang tertentu, dengan mudah diasimilasikan pada kategori-kategori yang ada. Berbagai upacara, pokok dan tokoh, dan berbagai peristiwa biasanya ditampilkan sesuai dengan kategori-kategori yang sudah diterima.
Misalnya, ilmuwan yang berhasil karena kesungguhannya, pengusaha yang sukses karena bekerja keras, adalah contoh-contoh peristiwa yang memperkokoh prakonsepsi bekerja keras dan kesungguhan.
4. Teori objektifikasi
Teori memandang manusia sebagai mahluk yang pasif, yang tidak berpikir, yang selalu mengandalkan petunjuk-petunjuk eksternal untuk merumuskan kosep-konsep tertentu.
Teori ini menunjukkan bahwa kita mengambil kesimpulan tentang diri kita dari perilaku yang tampak.
Teori objektifikasi menunjukkan bahwa terpaan isi media dapat memberikan petunjuk kepada individu untuk menafsirkan atau mengidentifikasi kondisi perasaan yang tidak jelas, untuk mengatribusikan perasaan-perasaan negatif pada faktor-faktor eksternal, atau untuk memberikan kriteria pembanding yang ekstrem untuk perilakunya yang kurang yang kurang baik.
Misalnya, seorang pegawai yang merasa tidak begitu bersalah ketika ia menyelewengkan uang kantor setelah mengetahui peristiwa korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh orang lain.
5. Teori Otonomi
Teori ini memandang manusia sebagai mahluk yang berusaha mengaktualisasikan dirinya sehingga mencapai identitas kepribadian yang otonom.
Dalam kaitannya dengan komunikasi massa, media massa tampaknya sedikit sekali memuaskan kebutuhan humanistik ini. Acara televisi atau isi surat kabar tidak banyak membantu khalayak untuk menajdi orang yang mampu mengendalikan nasibnya.
6. Teori Stimulasi
Teori ini memandang manusia sebagai mahluk yang “lapar stimuli”, yang senantiasa mencari pengalaman-pengalaman yang baru, yang selalu berusaha memperoleh hal-hal yang memperkaya pemikirannya.
Dalam hubungannya dengan komuniksi massa, media massa seperti TV, radio, film, dan surat kabar mengantarkan orang paa dunia yajng tidak terhingga, baik lewat kisah-kisah yang fantastis maupun yang aktual.
III. Motif Afektif Gratifikasi Media
1. Teori Reduksi Ketegangan
Teori memandang manusia seabgai sistem tegangan yang memperoleh kepuasan pada pengurang ketegangan.
Tegangan emosional karena marah berkurang setelah kita mengungkapkan kemarahan itu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ungkapan perasaan dipandang dapat berfungsi sebagai katarsis atau pelepas ketegangan.
Menurut kerangka teori ini, komunikasi massa menyalurkan kecenderungan destruktif manusia dengan menyajikan peristiwa-peristiwa atau adegan-adegan kekerasan.
Itulah sebabnya teori ini mengatakan, penjahat mungkin tidak jadi melepaskan dendamnya setelah puas menyaksikan pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh seorang jagoan dalam film.
2. Teori Ekspresif
Teori ini mengatakan bahwa orang memperoleh kepuasan dalam mengungkapkan eksistensi dirinya, dalam arti menampakkan perasaan dan keyakinannya.
Dalam hubungannya dengan komunikasi massa, komunikasi massa mempermudah orang untuk berfantasi, melalui identifikasi dengan tokoh-tokoh yang disajikan, sehingga orang secara tidak langsung mengungkapkan perasaannya.
Media massa bukan saja membantu orang untuk mengembangkan sikap tertentu, tetapi juga menyajikan berbagai macam permainan untuk ekspresi diri, misalnya melaui teka teki silang, kontes, acara kuis dan lain-lain.
3. Teori ego-defensif
Teori ini beranggapan bahwa dalam hidup ini kita mengembangkan citra diri yang tertentu dan berusaha untuk mempertahankan citra diri ini.
Dalam hubungannya dengan komunikasi massa, dari media massa kita memperoleh informasi untuk membangun konsep diri kita , pandangan dunia kita, dan pandangan kita tentang sifat-sifat manusia.
Pada saat citra diri kita mengalami kerusakan, media massa dapat mengalihkan perhatian kita dari kecemasan kita. Dengan demikian, komunikasi massa memberikan bantuan dalam melakukan teknik-teknik pertahanan ego.
4. Teori Peneguhan
Teori ini memandang bahwa orang dalam situasi tertentu akan bertingkah laku dengan suatu cara yang membawanya kepada ganjaran seperti yang telah dialaminya pada waktu lalu.
Menurut kerangka teori ini, orang menggunakan media massa karena mendatangkan ganjaran berupa informasi, hiburan, hubungan dengan orang lain, dan sebagainya.
Di samping isi media yang memang menarik, tindkan menggunakan media sering diasosiasikan dengan suasana yang menyenangkan; misalnya menonton televisi dilakukan di tengah-tengah keluarga, membaca buku dilakukan di tempat yang sepi dan tenang dan jauh dari gangguan, dan sebagainya.
5. Teori Afiliasi
Teori ini memandang manusia sebagai mahluk yang mencari kasih sayang dan penerimaan orang lain.
Dalam hubungannya dengan gratifikasi media, banyak sarjana ilmu komunikasi yang menekankan fungsi media massa dalam menghubungkan individu dengan individu lain.
Misalnya, Lasswell menyebutnya fungsi “correlation”.
Ahli mengatakan, komunikasi massa digunakan individu untuk menghubungkan dirinya dengan orang lain seperti keluarga, teman, bangsa, dan sebagainya.
6. Teori Identifikasi
Teori ini melihat manusia sebagai pemain peranan yang berusaha memuaskan egonya dengan menambahkan peranan yang meuaskan pada konsep dirinya.
Dalam hubungannya dengan komunikasi massa, media massa yang menyajikan
cerita fiktif dan faktual, mendorong orang-orang untuk memajukan peranan yang
diakui dan berdasarkan gaya tertentu.
Sumber :UNIVERSITAS MERCU BUANAK, FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI , Oleh : Drs. Riswandi, M.Si.
2 komentar:
Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
hanya di D*EW*A*P*K / pin bb D87604A1
dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)
ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
Promo Fans**poker saat ini :
- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^
Post a Comment